awal2 masuk sekolah dasar dulu, saya selalu aja deg2an kalau anak perempuan saya, bianca, mau ulangan matematika. menurut penilaian saya, bianca ga terlalu hebat dalam mata pelajaran itu. saya sendiri, selama bertahun2 sudah memberi cap “angker” buat matematika. jadi membayangkan bianca ikut ulangan math itu buat saya seperti melakukan perjalanan ke sebuah danau yang sepi dan menyeramkan. ada kejutan2 horor yang bisa saja muncul setiap saat.
saya ga pernah bisa betul2 mengingat, pelajaran math apa yang pernah saya terima waktu saya di sd dulu. tentu saja ada pelajaran perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan. lalu ada pecahan dan persamaan matematika. selebihnya samar2, seperti kabut di danau angker tadi.
anehnya, waktu saya lulus dari sd dulu, nilai math saya dalam NEM (nilai ebtanas murni), adalah 8,5. dapat penghargaan sebagai NEM math tertenggi sekecamatan jaman segitu. TUHAN pasti sangat baik sama saya π
ingatan saya dengan math jaman smp juga burek. gambaran bakso siomay kuah langganan saya di belakang sekolah masih lebih jelas di kepala saya. tapi nilai rapor saya untuk pelajaran math juga ga pernah di bawah angka 8. antara rejeki atau karena saya rajin berdoa waktu itu π
gambaran math saya di jaman sma sedikit lebih jelas. saya bisa mengingat nama dan wajah2 guru matematika saya, puluhan misteri sinus dan cosinus yang ga pernah berhasil saya pecahkan, buku matematika yang saya beri sampul warna hitam legam dengan tulisan “matematika” di tas potongan kertas spot light warna merah jambu di bagian depannya, juga angka2 berbentuk seperti “kursi terbalik” yang ditulis tegas dengan warna merah membara di halaman2 kertas kerja dan ulangan saya.
adalah bu res, guru math saya di kelas 2. perawakannya tinggi besar. rambutnya ikal. bicaranya tegas. pr-nya susah2. saya terpaksa membuat duplikasi cap angker saya. satu untuk pelajaran math. satunya lagi untuk bu res.
suatu hari, bu res memberikan sebuah misteri trigonometri buat kelas 2 fis-1. jari tangannya seperti putaran roda russian roulette yang bisa berhenti di mana saja. tiba2 suara keras bu res menggema ke seluruh sudut kelas:
“kamu! maju!”
satu per satu murid apes yang kena tunjuk berjalan lunglai ke depan kelas. mengambil kapur tulis. berdiri beberapa inchi dari papan tulis, memunggunggi teman2 sekelasnya. berusaha membuat garis2 dan menulis angka2 yang masuk akal. mencoba memecahkan misteri sambil sesekali mengusap peluh setres.
tiga anak sudah yang menemui kegagalan. tiba2 suara keras bu res seperti petir yang menyambar gendang telinga saya:
“lesca! maju!”
saya yakin betul, kesabaran bu res waktu itu pasti sudah tinggal sisa2nya saja. beliau butuh jawaban. dan saya tidak dalam kapasitas yang memadai π¦
beberapa menit saya berdiri di depan kelas. dengan pikiran butek. dengkul yang mulai bergetar. dan bayangan danau angker yang terus menerus mengganggu.
akhirnya kesabaran bu res habis. beliau mulai berteriak2 di depan kelas. kecewa karena kami ga berhasil memecahkan misterinya. jadilah saya siswa terapes hari itu. terpaksa berdiri lama2 di depan kelas, sementara bu res mengomel.
“lesca! belajar lagi yang bener! jangan cuman pacaran melulu! apa kamu ga malu? ngaku jadi anak jurusan fisika, tapi nilai matematikanya dua!”
ah, sudahlah….
reflek, saya sepertinya mau mewariskan cap angker saya ke bianca. tapi manusia hanya bisa berencana. tuhan juga yang menentukan.
di tahun pertamanya di sekolah dasar, setelah beberapa minggu dibikin pusing sama math, kami menawarkan bianca untuk ikut kelas kumon. setelah 2 minggu ikut coba gratis, bianca memutuskan untuk terus!
saya lega. apalagi setelah ngeliat bianca menikmati kelas kumonnya. tanpa harus dipaksa, bianca dengan rajin akan menyelesaikan puluhan lembar kertas kerja kumon yang dibawanya pulang. dan dengan bangga dia akan menunjukkan gambar2 bintang yang berhasil dikumpulkan di buku feed backnya.dan berkali2 juga saya menemukan coretan2 tangan bianca, di buku2nya, di kertas koran, di dinding:Β “i love math”
sesuatu yang ga pernah saya tulis. dimana pun.
puji tuhan.
rasanya saya ingin meneteskan air mata bahagia π bianca bukan cuman mengaku mencintai ‘barang angker’ itu. tapi dia juga sudah berhasil menelurkan’ biji2 besar’ untuk pelajaran math nya. minimal 80. berkali2 juga dapat 100.
untung cap angker itu belum sempat saya wariskan ke bianca. dan saya sudah belajar satu hal. tidak selamanya air cucuran atap itu jatunya ke pelimbahan juga.Β atau buah apel selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya. karena bisa saja ada beberapa tetes air yang jatuh di ember penampungan dan ada buah2 apel yang langsung dipetik orang sebelum sempat jatuh ke tanah π
saya rasa, sudah waktunya saya membuang cap angker yang saya simpan bertahun2 ini. mungkin mengirimnya ke tumpukan billing statement yang selalu setia menghampiri saya di setiap akhir bulan…