dengan tidak mengurangi rasa hormat, kepada seluruh mbak di dunia…
kata “mbak” di sini me-reffer pada para nanny, pengasuh, asisten rumah tangga, mereka yang bertugas membantu ibu2 menjalankan tugas2nya di rumah.
saya hanya ingin sharing pengalaman saja, semoga bermanfaat 😉
hampir 10 tahun terakhir ini, para mbak memang selalu membawa warna tersendiri dalam hidup saya. mereka ada di sekeliling saya. saya selalu melihat mereka. saya tidak berhenti mendengar tentang mereka.
ketika saya mulai menjadi ibu bekerja, saat itulah saya memulai ketergantungan saya sama ‘si mbak’. saya perlu si mbak buat membantu saya bersih2 rumah, masak, nyetrika, dan yang paling penting menjaga anak saya saat saya berada di kantor. saat itu, rasanya susah buat saya membayangkan, seperti apa hidup saya tanpa si mbak.
tiap kali menjelang lebaran, saya mendadak panik. merasa ga sanggup hidup tanpa si mbak. walaupun hanya untuk 1-2 minggu saja. bagaimana saya bisa mengurus dan membersihkan rumah? siapa yang akan menyiapakan makanan buat suami dan anak saya? kalau anak saya mogok makan, apa saya sanggup mengatasinya?
pertanyaan2 lucu! lha wong itu rumah, rumah saya. anak dan suami, juga anak dan suami saya. harusnya, sayalah yang paling mengerti bagaimana menangani mereka…
harus saya akui, keberadaan si mbak di rumah kami memang membawa ‘kemewahan’ tersendiri. sayangnya, kemewahan itu sempat membuat saya lupa diri. dan menjadi pemalas!
anak pup, “mbak, tolong wawikin adek yaa…”
anak laper, “mbak, bisa tolong suapin kakak? keliatannya dia laper…”
suami pengen sambel,” mbak, tolong ulekin sambel buat bapak ya..”
sementara itu, saya selalu terlalu cape kerja di kantor. perlu istirahat buat jaga stamina. dan sering kecentilan bawa pulang tumpukan kerjaan kantor yg lebih sering ga dipegang juga. akhirnya, merasa udah ga punya tenaga lagi buat ngurusin rumah dan anak2.
dengan penuh rasa malu, belakangan saya suka mikir, jaman segitu itu si mbak lebih mirip yang punya rumah ketimbang saya. si mbak yang ngerti di mana barang2 saya diletakan. dia yang tau jam berapa anak saya biasa mandi. dia juga yg sering memasak makanan kesukaan suami saya. saya lebih mirip orang yang numpang kos di rumahnya sendiri.
saya ga ingat betul, sudah berapa banyak mbak yang pernah datang dan pergi, mengisi hidup saya. ada yang kuat sampe 4 tahun. ada yang cuman 11 bulan. ada juga yang cuman bertahan 2 hari. ada yang gendut. ada yang ga doyan makan daging. ada yang hobinya telpon. ada yang pinter mijet. ada yang seneng manjangin kukunya. ada yang keriting. ada yang suka bikin saya keriting…
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mereka memang adalah orang2 yang berjasa dalam hidup saya. saya ga bakalan “ngilang-ngilangin”. tanpa mereka, tentu saya ga bisa jadi kayak sekarang.
dari sekian banyak si mbak yang pernah jadi asisten saya, saya memperhatikan ada 1 kesamaan dalam diri mereka. sama2 punya keahlian “mengarang”.
sampai dengen 2,5 tahun yang lalu, anak2 saya biasa ikut sekolah minggu ditemenin mbaknya. alasannya, supaya saya dan bapak bisa ikut kebaktian di gereja pada jam yang sama. si mbak selalu bilang kalau anak2 pinter di sekolah minggu. sering maju ke depan kelas untuk menyanyi. bahkan menjalankan kantong persembahan.
waktu pada akhirnya saya memutuskan untuk menjadi ibu mandiri tanpa si mbak sama sekali, saya mulai mengantar sendiri anak2 saya ke sekolah minggu. saya nyaris semaput karena kaget. boro2 maju ke depan kelas untuk menyanyi, duduk sendiri pun anak saya ga mau. maunya neplok terus sama mboknya. seorang ibu yang juga mengantar anaknya sekolah minggu nyeletuk:
“tumben benaia ga nangis, biasanya kalau sama mbaknya begitu acara dimulai pasti langsung nangis jerit2 dan baru mau diem kalau sudah dibawa keluar kelas sama mbaknya…”
karangan si mbak yang pertama.
karena anak pertama saya bianca dulu badannya kurus banget gara2 susah makan, waktu anak saya benaia tumbuh jadi bayi yang montok-tok-tok, saya seneng luar biasa. walaupun pada akhirnya saya juga mulai kawatir karena benaia nyaris masuk kategori obesitas. saya selalu memuji kepiawaian si mbak dalam memberi makan benaia. tapi belakangan saya mendengar cerita tentang bagaimana si mbak biasa mencekoki benaia. si mbak akan mendudukan benaia di depan tv, meletakan sepiring makanan di depannya, membiarkannya makan sendiri, dan segera memenuhi lagi piring makannya begitu piring itu kosong. sementara itu si mbak bisa melakukan kegiatan yang lain. saya jadi teringat sapi dan ayam2 yang digelonggong di pasar 😦
karangan si mbak yang lain., satu dari ratusan karangan yang lainnya.
setelah saya melahirkan anak ketiga kami, saya memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor orang lain. dan selama 2 tahun pertama, saya memutuskan untuk mengurus rumah dan anak2 sendiri. tanpa asistensi seorang mbak. seperti ingin balas dendam. membayar 6 tahun saya yang kurang memperhatikan anak2.
harus saya akui, masa 2 tahun itu adalah masa2 yang berat buat saya. seperti berada dalam kawah candradimuka. hari2 saya dihabiskan untuk mengurus rumah dan ketiga anak kami. 1 diantaranya bayi. badan saya mulai penuh daki karena tidak pernah bisa mandi dengan tenang. telapak kaki saya pecah2 karena sering lupa pake sendal waktu nyuci pakaian. rambut saya kusut karena sering nggak sempat nyisir. bisa tidur lebih dari 2 jam dalam sehari adalah kemewahan saat itu. dan saya hanya bisa melihat langit jakarta dan jalan raya seminggu sekali. tiap weekend kalau kami ke gereja dan bapak ngajak jalan2 😀
berulang kali bapak menyarankan supaya saya kembali mencari seorang mbak. tapi saya ga pernah mau. sampai suatu hari, saya mulai bisa berpikir realistis lagi. saya sadar, masa balas dendam saya sudah cukup. anak2 kami tidak cukup hanya dikasih makan 3 kali sehari, mandi 2x sehari, dan selalu bisa berpakaian bersih saja. mereka perlu lebih dari itu. mereka juga butuh ibunya untuk menemani mereka nonton tv, belajar naik sepeda, atau sekedar bersama2 main ular tangga dan monopoli. dan saya hanya bisa melakukan semua itu kalau ada seorang mbak yang membantu saya mengurus rumah.
kali ini saya betul2 menempatkan si mbak sebagai asisten saya. si mbak yang membantu saya mengiris bawang waktu saya mau masak buat keluarga saya. si mbak yang akan menjemur pakaian yang sebelumnya sudah saya cuci bersih. dan si mbak yang akan menyiapkan air hangat saat saya akan memandikan anak2 saya. saya lah sang “nyonya”, bukan lagi orang yang “numpang” di rumahnya sendiri 🙂
semenjak anak ketiga saya benezra masuk sekolah, saya selalu ikut mengantar anak2 ke sekolah. hampir setiap hari saya mendapat suguhan pemandangan yang bikin saya melongo. maklum, baru… lama2 saya tentu akan terbiasa.
suatu hari saya melihat seorang mbak yang mengantar anak asuhnya ke sekolah dengan busana a la model ibu kota. kaos ketat, short pants, dan kaca mata dengan frame warna merah jambu gonjreng. di lain hari, saya melihat mbak yang lain duduk dengan kedua kaki naik ke atas kursi, mirip abang2 yang biasa makan di warteg, cekakak cekikik sama temennya sambil meng-update status fb nya. di kemudian hari, saya melihat seorang mbak yang asik makan spagheti dari dalam sebuah lunch box warna biru dengan gambar kartun di atasnya. sementara seorang temannya juga asik menikmati potonga2 apel yang sudah dikupas bersih dan dipotong dadu seukuran mulut anak tk. semoga spagheti dan apel itu bukan jatah bekal anak asuhnya.
bagaimana pun, ini adalah negara merdeka. siapapun makan apa pun yang mereka suka. dari kotak makanan dengan warna apa pun…
as long as mereka ga melalaikan tugas utama mereka.
perkara baju dan makanan itu memang bukan urusan saya. tapi saya ga bisa ga ikutan merasa prihatin waktu ngeliat bagaimana mbak2 itu memperlakukan anak asuh mereka. bagaimana mereka memasukan 1 sendok penuh makanan ke dalam mulut2 kecil itu. membentak2 mereka karena tidak bisa segera mengunyah dan menelan makanannya. bagaimana anak2 itu bisa ngunyah kalau mulutnya begitu penuh? masih bagus mereka ga keselek atau muntah. bukan cuman itu, si mbak juga kadang menarik2 tangan dan badan anak2 asuhnya dengan kasar. saya suka linu ngeliatnya, ngebayangin kalau tangan2 kecil itu putus dari tungkainya. saya juga beberapa kali mergokin beberapa mbak yang ikutan makan dari lunch box anak asuhnya. dengan sendok yang sama. sesuap anak, suapan berikutnya masuk ke mulut si mbak. semoga mbak itu ga sedang sakit flu atau punya simpanan tbc 😦
tiap kali saya melihat pemandangan2 horor seperti itu, saya ga berani membayangkan, apa saja yang pernah dialami anak2 saya bersama mbak2nya dulu. yang pasti, saya ga berhenti2 bersyukur. buat kesempatan yang tuhan kasih. saya beryukur bisa bangun jam 4 pagi tiap hari untuk menyiapkan makanan dan bekal sekolah anak2 saya. saya merasa beruntung bisa mencium bau kecut dan pesing yang mereka tinggalkan di kamar tidur kami. saya bangga tiap kali anak saya menangis ga mau saya tinggal. dan saya percaya waktu bapak bilang bahwa saya bisa bikin telor dadar paling enak di dunia 😀
bagaimana pun, emang ga mungkin membandingkan mbak2 itu dengan seorang ibu. si mbak menjaga dan mengasuh anak untuk beberapa ratus ribu rupiah. sementara ibu, melakukannya untuk alasan yang lain. dan yang mungkin ga tergantikan adalah, seringkali anak datang dengan sebuah pertanyaan yang perlu jawaban cepat dan tepat. seperti:
“buk, fuck you itu apa artinya sih?” atau:
“buk, emang bapak sama ibu itu bisa cerai ya?”
itulah gunanya ada ibu di rumah. saya ga bisa membayangkan, kira2 jawaban apa yang mungkin diberikan seorang mbak untuk pertanyaan2 kritis seperti itu.
saya ga pernah menyesal dengan apa yang sudah tuhan ijinkan terjadi dalam hidup saya. seperti “kawah candradimuka” itu sudah membuat saya menjadi ibu yang lebih baik. semua memang sudah didesain tepat pada waktunya. tidak ada kebetulan.
dan saya hanya ga bisa berenti bersyukur…
ps.:
sekali lagi, terima kasih saya buat mpok kokom, mbah tojibah, mbak kokom, mbak artin, mbak asih, mbak pur, mbak mar, mbak inem, mbak is, mbak yuni, iing, mbak afi, mbak munah, mbak tiwi, mbak tini, mbak dini, mbak parmi, mbak ella, mbak yana dan mbak nissa.
kiranya tuhan memberikan yang terbaik, sukses selalu!
iya buk, kita harus bisa mensyukuri dari semua tahapan kehidupan yg telah kita lewati, karena pasti banyak hikmah didalamnya..
Mangkanya sampai detik ini dakyu tak bernyali untuk punya asisten adalah hal2 “buruk” tergambar dari para asisten, baik lewat cerita maupun yg liat langsung dari para asisten tetangga..tapi itulah pilihan yg mungkin mereka bisa jalani saat ini…
saya juga bersyukur walaupun saya harus kerja, saya dapat mbak yg cukup baik untuk ukuran sy, dan juga setia, karna bisa bertahan dengan gaya saya, sejak medy masih di perut, alias udah hampir 11th. Walaupun rasanya masih ada aja yg gak puas dengan kelakuan si mbak, tapi itu terobati dengan pertumbuhan medy yg normal (sehat jiwa raga). Seperti online terus, semenjak punya HP, setrika kurang licin yah, ato kadang2 cuek klo diomongin… namanya gak ada orang yg sempurna … makanya saya gak brenti bersyukur dengan adanya si mbak.
ngiluuu ya…dilema betul deh buat ibu bekerja.., cuma bisa berdoa Tuhan kirimkan asisten pilihannya..untuk bisa bantu2 di rumah..
tp harus pake assisten la jeung..nikmati hidup di Indonesia, jaga stamina kita sendiri..supaya awet mudaaaaaah…*alesan.. 🙂
Aku juga ngerasa beruntung banget jeng “terpaksa” gak pake mbak. Peratam kali sih pusing ngebayanginnya, lama2 enjoy ternyata ya, malah seneng bisa ngeliat pertumbuhan & perkembangan buah hati tercinta “live” tanpa mesti denger laporan dari si mbak dulu 🙂
puji tuhan banget ya sus…
pengalamanku membukatikan, laporan si mbak kadang sudah melewati proses editing dulu… hehehehe 😀
tuhan memang sudah mendesain semuanya, sempurna pada waktunya 🙂
hugs buat princess kim yaaa… 🙂