my time machine #7: sawah

DSC03724

hamparan sawah, entah yang hijau atau yang sudah menguning keemasan, adalah salah satu pemandangan favorit saya. yang masih berwarna hijau segar mengingatkan saya pada permadani peking yang halus dan nyaman. sementara yg kuning keemasan, seperti selimut tebal yang hangat dan lembut. dan yang sudah dipanen, mengingkatkan saya pada heleran* dan rice cooker 😉

saya memang selalu punya ikatan bathin yg erat dengan sawah… rumah masa kecil saya dikelilingi oleh sawah. ribuan sore hari saya dihabiskan di tengah sawah. dan sampai sekarang saya doyan makan sesuatu yang dihasilkan oleh sawah. tak terpisahkan.

dari hasil penelusuran silsilah dan penyelidikan ilmiah yang saya lakukan kemarin, sekarang sudah lebih jelas di kepala saya bagaimana awalnya sampai keluarga kami terdampar di tengah sawah.

di awal tahun 70an, setelah kedua orang tua saya menikah, mereka sempat menumpang di rumah oom saya yang saat itu berdinas di pusdikav, purabaya. oom saya punya kawan. kawannya oom saya punya anak buah. anak buahnya temennya oom saya itu punya rumah di gang kupa. dari sanalah semua bermuasal.

menurut cerita mereka yang usianya sudah lebih banyak dari saya, gang kupa dulu bukan perumahan padat penduduk seperti sekarang. tapi masih hutan yang dikelilingi sawah. atau sawah yang dikelilingi hutan. atau hutan dan sawah yang saling mengelilingi.  konon, jaman segitu sejauh mata memandang dari depan teras rumah kami yang terlihat adalah hamparan sawah, kebun singkong dan jagung. dan di belahan bumi bagian belakang rumah kami, dipenuhi dengan pohon salak dan hutan bambu. gosipnya di sana masih banyak ular berbisa dan genderewo.

bertahun kemudian, saat saya mulai memasuki masa kanak2, penghuni gang kupa mulai bertambah. beberapa bagian hutan dibabat. ribuan meter sawah diratakan dengan tanah.  dan mulailah tumbuh rumah2. ga jauh dari rumah kami, ada sepetak tanah sawah yang setiap kali selesai panen akan dialih fungsikan sebagai lapangan bermain temporer. sambil menunggu musim hujan datang lagi, dan tanah menjadi basah dan siap ditanami padi lagi. di tanah lapang itulah saya biasa bermain dengan teman2 sekampung saya. keahlian saya waktu itu diantaranya adalah main luncat karet, engklek, cutik, ucing sumput dan joget.

untuk luncat karet, saya bisa mencapai target “sa-merdeka”. engklek, bisa main terus teu eleh2, sampe kelompok musuh bosen nungguin gilirannya. cutik, nyaris ga pernah gudir. ucing sumput, jarang banget jadi nu ucing. dan joget, telah berhasil membuat saya dilipih oleh karang taruna untuk mengisi acara panggung tujuh belasan.

saat musim panas, setiap sore sampai menjelang maghrib, tanah lapang itu biasanya rameee sekali. bapak2 dan para pemuda ngumpul2 sambil ngudud. sebagian lagi menjaga kebugaran dengan bermain poli.** ibu2 muda, bercengkrama dengan sejenisnya. beberapa diantaranya menggedong bayi mereka dengan samping***, sambil menyuapi  atau meneteki bayinya. yang sudah lebih tua memilih duduk2 sambil menikmati sepoi angin dan mencari kutu. anak2 perawan berbisik2 dan cekikikan di pojok lapangan. sambil sesekali melirik suami2 yang istrinya lengah. anak2 berkeliaran seperti kelinci2 muda. ada yang bermain bola, layang2, ada juga yang sekedar berlarian, berguling2 dan tertawa terbahak2. amat sangat riuh rendah.

saya biasanya baru kepikiran untuk pulang setelah mendengar suara mama memanggil2.

“ekkaaaa…., sudah soreee… hayo pulaaaanngggg…. mandi dulu. baumu sudah kayak anak kebo!”

lalu saya pun akan berlari2 besar seperti anak kebo yang mau masuk kandang.

saat musim hujan tiba, almarhum papi dan beberapa temannya biasa berburu sumber protein di sawah. ngurek**** belut dan menangkap kodok ijo dengan ditemani nyala petromak sudah merupakan suatu hiburan malam buat mereka. semacam night life begitulah.

setelah saya mulai beranjak remaja, penghuni gang kupa sudah mulai tak terhitung jumlahnya. dan saya pun sudah mulai kesulitan mengenali mereka satu per satu. apalagi menghafal nama2nya. saya mulai lebih sering tinggal di dalam rumah. pertama, karena saya dan teman2 mulai kehilangan play ground andalan kami. sawah yang tiap selesai dipanen akan berubah fungsi jadi tanah lapang itu sudah ditumbuhi rumah2. kedua, teman2 sepermainan saya juga sudah mulai sibuk dengan hidupnya masing2. ada yang menikah dan dibawa suaminya pergi dari gang kupa. ada yang harus membantu bapaknya mencari uang dan bekerja di pabrik tekstil. ada juga yang memutuskan untuk pergi merantau dan mencari peruntungan di kota lain. saya sendiri, akhirnya merasa kalau berada di rumah ternyata lebih aman dan nyaman. jauh dari hiruk pikuk dan sengatan matahari yang bisa membuat kulit menjadi lebih kusam.

saya merindukan hamparan sawah itu…

semakin saya besar, semakin sedikit sawah yang tersisa. kalau dulu rumah mungil kami dikelilingi oleh sawah. sekarang sawah lah yang dikelilingi rumah2. dari yang mungil, sampe yang magrong.

dan saya semakin merindukan sawah2 itu.

tinggal satu petak sawah di belakang jalan raya seberang kantor pos yang sampai hari ini masih bertahan. di musim kemarau kami biasa menyusuri pematang sawah itu untuk menuju ke gereja. motong jalan, short cut. kami cukup terampil menjaga keseimbangan badan supaya ga tergelincir, bahkan saat memakai gaun dan sepatu bertumit tinggi. jika musim hujan datang, short cut itu jadi terlalu berbahaya untuk dilalui. dan kami terpaksa mengambil route lain, lewat kebun kopi dan tembus di gang kecil di sebelah puskesmas. persis di tepi jalan raya.

jadi begitulah,
sudah hilang sawah2 kesayangan saya,
tempat kanak2 bau kebo main bola dan ngejar layangan,
tempat muda mudi berkumpul dan mencari pasangan,
tempat para lansia menikmati masa tuanya sebelum dipanggil Tuhan.

not happy 😦

anyway, rasanya sudah cukup saya bermain2 dengan time machine saya kali ini. saatnya keluar dan kembali mengurus hidup dan menata mimpi2 saya. kembali ke masa kini. kembali kepada sang kekasih hati 😉

DSC03701

“kacang yang berbahagia adalah yang tidak melupakan kulitnya,
manusia yang berbahagia adalah mereka yang bisa mensyukuri hidupnya…”

*heleran: bahasa sunda untuk tempat penggilingan padi
**poli: bahasa akrab untuk permainan volley ball
***
samping: istilah bahasa sunda untuk kain batik panjang. biasa dipakai untuk menggendong bayi atau dikenakan bersama kebaya.
****ngurek: cara tradisional memancing belut dari lubang persembunyiannya

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s