Tiga puluh lima tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya mendengar nama Lembah Baliem dari sebuah buku yang saya baca. Saya ga inget judul buku, nama penulis atau jalan cerita persisnya. Tapi bayangan mengenai sebuah lembah raksasa yang dikelilingi hutan lebat, udara yang dingin, perkampungan suku Dani dan perempuan2nya yang perkasa, begitu melekat di hati saya. Dan sejak saat itu, every now and then saya coba mencari tau lebih banyak tentang Lembah Baliem. Lewat internet, artikel di koran, tulisan2 di travel blogs dan cerita teman2 yang pernah megunjungi Lembah Baliem, apa såja.
Lembah Baliem terletak di pegunungan Jayawijaya di Papua. Lembah ini ditemukan secara kebetulan pada 1938 oleh seorang peneliti asal Amerika, Richard Archbold dalam ekspedisinya ke New Guinea. Di Lembah yang subur dan cantik inilah tinggal suku Dani, suku Yali dan suku Lani.
Kota terdekat dari Lembah Baliem adalah Wamena. Saat ini Wamena hanya bisa ditempuh melalui jalan udara. Jalan darat yang menghubungkan Wamena dan Jayapura baru saja selesai dibangun. Dalam rangka peringatan HUT RI ke-73 bulan Agustus yang lalu sudah ada 15 orang motorists yang bergabung dalam RoFA (Ring of Fire Adventure) yang berhasil menempuh perjalanan darat sejauh 600 km dari Jayapura sampai ke Wamena.
Sulitnya kota Wamena ditempuh lewat jalan darat ini punya pengaruh besar terhadap harga barang-barang di Wamena. Mulai dari telur hingga sabun mandi semuanya harus dikirim dengan pesawat dari Jayapura. No wonder harga2 jadi mahal yaa… Sebagai contoh, harga semangkuk coto makasar di warung di kota Wamena bisa mencapai 60 ribu rupiah. Ini warung lho ya, bukan restoran. Dan satu fakta menarik yang saya temui di Wamena adalah, sampan saat ini penduduk Wamena masih memasak dengan menggunakan kompor minyak. Tidak ada kompor gas. Tahu kenapa? Karena tabung gas ga bisa naik pesawat!
Suku Dani yang merupakan penduduk asli Lembah Baliem terkenal sebagai suku yang suka berperang. Karena wilayah mereka merupakan salah satu wilayah yang paling subur di Papua, keadaan ini kadang memaksa mereka berperang guna melindungi dan mempertahankan daerahnya dari serangan luar.
Peperangan biasa nya dipicu oleh 3 hal ini: perebutan tanah/ladang, pencurian ternak babi, dan urusan wanita. Pada jaman dulu, ketika pertikaian tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik, maka perang akan menjadi solusinya. Senjata trandisional seperti panah, tombak dan parang bisa melayang dan menancap di tubuh musuh at anytime. Di masa modern sekarang mereka sudah mengenal sistem ganti rugi dengan uang. Jadi saat terjadi perselisihan, penyelesaian masalah bisa dialihkan dengan memberikan ganti rugi uang kepada pihak yang dirugikan. Karena alasan keamanan, wilayah Baliem pernah dinyatakan sebagai daerah tertutup sampai tahun 2005.
Cuaca di Lembah Baliem memang cukup ekstrim. Di siang hari matahari terasa sangat terik, namun di malam hari suhu udara bisa mencapat 5 derajat celcius. Untuk menghangatkan diri, orang2 di suku Dani punya tradisi melumuri tubuhnya dengan campuran minyak babi dan lumpur. Ramuan ini terbukti bisa melindungi mereka dari rasa dingin yang menusuk dan juga dari serangam nyamuk malaria. Meski tinggal di tengah hutan dan hanya mengenakan pakaian yang sangat sederhana, suku Dani nyaris tidak pernah terserang penyakit kulit atau pun flu.
Hingga saat ini kehidupan suku Dani belum banyak mengalami modernisasi. Banyak tradisi jaman nenek moyang yang masih mereka pertahankan. Seperti cara berpakaian, rumah adat, gaya hidup, hingga bahasa asli yang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Laki2 suku Dani hingga kini masih memakai koteka (penutup kemaluan pria yang terbuat dari kulit labu) dan para wanita bertelanjang dada dalam kesehariannya. Mereka juga masih tinggal di rumah traditional yang disebut honai (rumah khas Suku Dani yang beratapkan jerami, berdinding kayu dan berbentuk seperti jamur).
Selama ini saya hanya mengenal 1 jenis rumah adat Papua, yaitu honai. Tapi ternyata ada 2 jenis rumah adat di Wamena. Honai dan Ebe’ai (honai perempuan). Honai hanya dihuni oleh laki2, sementa Ebe’ai yang berbentuk persegi panjang dihuni oleh kaum perempuan dan anak2. Kalau umumnya pasangan suami dan istri hidup bersama dalam satu rumah, suku Dani tidak demikian. Saat seorang laki2 akan berhubungan dengan istrinya, mereka akan melakukannya di luar rumah.
Meskipun suku Dani dikenal sebagai suku yang berperangkai keras, pada kenyataannya mereka adalah suku yang sangat ramah dan berjiwa seni tinggi. Mereka suka sekali menyanyi, menari, bahkan berdandan.
Laki2 suku Dani menggunakan tulang2 babi dan bulu2 burung yang cantik sebagai perhiasan. Dan para wanita memanfaatkan kulit kayu dan rumput kering untuk dianyam menjadi berbagai asesoris. Salah satu hasil anyaman Papua yang sangat terkenal adalah noken. Noken biasa digunakan kaum perempuan untuk membawa hasil bumi dari ladang, atau untuk menggendong bayi. Untuk melestarikan seni anyaman noken, saat ini Pemda Papua mengharuskan PNS untuk menggunakan noken sebagai pengganti tas pada setiap hari Kamis. Saya sendiri punya beberapa noken cantik yang kadang saya pakai untuk bepergian, ke kantor atau ke Gereja. Walaupun kelihatannya fragile, noken sebetulnya sangat kuat dan elastis. Cocok untuk membawa barang2 yang besar dan berat.
Saat saya mengunjungi desa Obia, sekelompok perempuan dengan hangat dan tersenyum lebar menyambut kedatangan saya dan rombongan. Banyak dari mereka yang sudah bisa berbahasa Indonesia, dan kami bisa bercakap2 dengan cukup lancar. Mereka membiarkan saya mengintip “kamar tidur” mereka, menunjukan kapada saya bagaimana cara membuat sali serta mengajarkan saya beberapa kata dalam bahasa mereka.
Kedudukan seorang perempuan di suku Dani (dan masyarakat Papua secara umum) amatlah istimewa, meski mungkin sebagian masyarakat modern memandangnya dengan cara yang berbeda. Seperti halnya tanah, seorang Mama (panggilan untuk perempuan yang sudah menikah) dianggap sebagai sumber kehidupan. Selama ini, orang luar menganggap bahwa hanya kepala sukulah yang menjadi sosok sentral dalam masyarakat suku Dani, padahal jika kita lihat lebih dalam seorang mama juga merupakan sosok penting yang punya pengaruh besar dalam keluarga dan masyarakat.
Seorang Mama adalah sosok pejuang dan pahlawan keluarga. Kegiatan seorang Mama nyaris tak ada habisnya. Sejak pagi buta saat mereka membuka mata, hingga malam hari tiba. Mulai dari memasak, memberi makan ternak, mengurus anak, hingga mencangkul di ladang. Saat panen tiba para Mama juga harus membawa hasil ladangnya untuk dijual ke pasar. Biasanya jarak dari kampung2 ke pasar tidak dekat, dan mereka harus berjalan tanpa alas kaki berkilo2 meter jauhnya sambil menggendong ubi dan sayur mayur yang berat di pundaknya. Terkadang masih ditambah dengan menggendong anaknya. Itu sebabnya para Mama dinilai punya peran besar dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Papua.
Di pedalaman Papua, seorang ibu yang hendak bersalin harus pergi ke tengah hutan untuk berjuang melahirkan bayinya seorang diri. Ini dilakukan karena ada tradisi yang menganggap bahwa darah yang dikeluarkan wanita, baik saat melahirkan atau pada waktu menstruasi adalah darah kotor yang membawa sial. Itu sebabnya seorang perempuan harus mengasingkan diri ke hutan saat mereka mengalami menstruasi atau pun akan melahirkan.
Setelah tinggal sendirian dalam pondok di tengah hutan selama 2 minggu, sang ibu akan kembali ke kampungnya, dengan atau tanpa menggendong bayinya. Jika ia datang sendirian itu artinya bayinya sudah meninggal dan sudah dikuburkan di hutan. Tradisi ini mungkin jadi salah satu alasan kenapa tingkat kematian ibu dan anak saat melahirkan di Papua sampai hari ini masih sangat tinggi.
Di pulau Papua binatang mamalia jarang hidup, kecuali babi dan kijang yang dulu dibawa masuk oleh pendatang dari Eropa. Itu sebabnya babi menjadi hewan yang sangat penting bagi masyarakat Papua, khususnya suku Dani. Babi bukan saja diternakkan untuk diambil dagingnya, tetapi juga menjadi symbol status pemiliknya. Semakin banyak babi yang dimiliki seseorang atau sebuah kampung, semakin tinggi pula statusnya. Orang Dani jarang memotong babi hanya dengan tujuan ingin makan dagingnya. Pemotongan babi biasanya dilakukan pada peristiwa2 sosial yang penting, seperti upacara pembakaran mayat, perkawinan, dan upacara inisiasi seperti pentahbisan seorang kepala suku.
Dulu babi juga digunakan sebagai alat tukar (seperti uang), dan sampai sekarang babi masih digunakan sebagai emas kawin. Sebagai hewan adat, babi memang mendapat perlakuan yang sangat istimewa. Kalau ada seekor anak babi yang kehilangan induknya karena harus dikorbankan untuk keperluan upacara keagamaan, maka tanggung jawab untuk menyusui anak babi itu akan dipikul oleh perempuan-perempuan yang sudah memiliki bayi. Tidak jarang ditemukan seorang ibu yang menyusui bayinya di sisi dada yang satu dan menyusui anak babi di bagian dada yang satunya. Karena statusnya yang penting itulah, seringkali babi menjadi penyulut perang antar suku.
Pernikahan orang Dani bersifat poligami. Menculik perempuan untuk diperistri adalah kebiasaan yang lazim di wilayah pedalaman pegunungan tengah Papua, termasuk di suku Dani. Selama seorang laki2 memiliki cukup babi untuk dijadikan mas kawin, dia bisa mengambil sebanyak2nya perempuan untuk dijadikan istrinya.
Sejak ratusan tahun yang lalu suku Dani mengkonsumsi ubi dan keladi sebagai makanan pokoknya. Hingga pada tahun 90an Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan mereka dengan nasi. Maka sejak saat itu sebagian masyarakat Papua mulai meninggalkan ubi dan keladi dan beralih ke nasi. Saat ini hanya segelintir jenis ubi saja yang masih diingat suku Dani, sedangkan nenek moyang mereka dulu sanggup mengenali lebih dari 60 jenis ubi2an.
Cara suku Dani mengolah ubi, sayuran dan daging babi juga sangat unik. Tanpa dimasak dengan berbagai bumbu, melainkan dimatangkan dengan menggunakan batu panas. Bahkan api yang digunakan untuk memanaskan batu2 itu juga masih dihasilkan dengan cara yang tradisional. Tanpa gas, minyak atau korek api.
Diawali dengan menggali lubang di tanah yang kemudian diisi dengan bebatuan yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan cara dibakar. Ubi, sayuran dan daging babi lalu diletakan berlapis2 di atasnya. sebelum kemudian ditutup dengan daun2an. Setelah beberapa waktu, ubi, sayuran dan daging pun matang dan siap disantap. Walaupun diolah dengan cara yang sangat sederhana, rasa makanannya menurut saya jadi sangat enak. Ubinya lembut dan manis, bercampur dengan aroma sayur mayur yang segar dan menggugah selera.
Satu lagi tradisi suku Dani yang unik dan cukup ekstrim. Namanya tradisi potong jari atau Iki Palek. Bagi suku Dani keluarga adalah segala2nya dan merupakan pokok kehidupan. Saat ada anggota keluarga yang meninggal, rasa pedih dan sakit yang luar biasa akan dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan. Untuk mengungkapan rasa sedih dan kehilangan itu, seorang perempuan suku Dani akan memotong jari2nya. Rasa sakit yang dialami melambangkan hati dan jiwa yang hancur dan tercabik karena kehilangan. Yang bikin saya merasa sangat ngeri adalah saat membayangkan prosesi pemotongan jari itu. Cara apapun sah dilakukan asal jari bisa putus. Ada orang yang mengigit jarinya sendiri hingga putus, dan ada juga yang menggunakan alat seperti kapak dan pisau tradisional untuk memotong jarinya. Pelaku iki polek mayoritas adalah kaum perempuan, namun ada juga pria yang ikut melakukannya sebagai ungkapan kesedihan.
Menghabiskan beberapa hari di Lembah Baliem memberikan banyak sekali pengalaman berharga dan yang sangat berkesan buat saya. Ada rasa kagum dan takjub yang luar biasa saat menyaksikan dan merenungkan betapa kayanya Indonesia. Kehidupan suku Dani mungkin memang masih sangat tradisional dan jauh dari hiruk pikuk modernisasi. Tapi banyak kearifan lokal yang kita bisa belajar dari mereka. Dalam beberapa hal, misalnya cara mereka menghargai alam, Suku Dani jauh lebih bijak dari kita yang sering mengaku berbudaya modern.
Ika-Oka, Sue-hagey, Yiwalo-tiwalo, Yitom-titom,
Yuhelep-tihelep Aroma apuniat anagare ane lek iluk akagusep
Apuni Inyamukut Werek Halok Yugunat Tosu
Hormatilah dan hargailah semua makhluk hidup maupun benda mati serta alam yang berada di permukaan bumi ini.
Berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap sesama mahkluk di bumi. **
*Foto2 diambil dari Festival Lembah Baliem, Agustus 2018
** Dikutip dari tulisan Joko Martno di Kompasiana, 15 Mei 2018.