Wae Rebo. Neka hemong kuni agu kalo.*

“Ketika banyak orang memilih untuk tinggal di dataran yang lebih rendah dengan akses yang lebih gampang dan fasilitas penunjang yang lebih baik, Warga Wae Rebo memilih untuk tetap tinggal di kampung mereka di pedalaman dan melestarikan budaya lokal mereka”

Entah kapan persisnya desa Wae Rebo yang unik ini berdiri. Sejarah yang diceritakan secara turun temurun menyebutkan, bahwa nenek moyang orang Wae Rebo adalah orang Minangkabau bernama Empo Maro, yang merantau ke Flores ratusan tahun yang lalu. Empo Maro dan keluarganya berlayar dari Minangkabau dan mendarat di Labuan Bajo, mereka kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Setelah hidup berpindah dari satu desa ke desa lainnya, akhirnya mereka sampai di Wat Rebo. Menetap menetap secara permanen di sana dan memiliki keturunan sampai sekarang.

Desa Wae Rebo mulai dikenal dunia pada tahun 90an, saat seorang fotografer berkebangsaan Jepang datang dan memotret kecantikan desa itu. Berita mengenai sebuah desa eksotis dan misterius yang terletak di pelosok pegunungan Flores ini pun menyebar ke seluruh dunia dengan cepat. Sejak saat itulah, banyak orang yang datang ke Wae Rebo.

Desa Wae Rebo ini lokasinya sangat terpecil. Butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk mendaki gunung dan melintasi hutan untuk bisa mencapainya. Letaknya yang berada pada ketinggian 1,200 mdpl menjadikan Wae Rebo sebagai salah satu desa tertinggi di Indonesia. Karena letaknya yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan, desa Wae Rebo hampir selalu diselimuti oleh kabut. Kabut bisa datang dan pergi kapan saja, sesuai arah tiupan angin. Saat tertutup kabut tebal, desa ini menjadi tidak nampak dari kejauhan. Mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab desa ini disebut desa yang misterius. Karena kadang nampak, kadang hilang.

Meskipun sudah banyak dikunjungi orang asing yang datang dengan membawa berbagai pengaruh, penduduk Wae Rebo hingga saat ini masih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka. Mulai dari tempat tinggal, cara berpakaian, makanan, teknik bercocok tanam dan juga bahasanya. Sebagian masyarakat Wae Rebo kini telah memeluk agama Katolik, namun budaya animisme yang diturunkan dari leluhurnya masih hidup berdampingan sebagai bentuk kearifan lokal. Mereka percaya bahwa seperti halnya manusia, alam (tanah, air dan hutan) juga mempunyai perasaan. Oleh sebab itu manusia tidak boleh merusak dan menyakiti alam.

Desa Wae Rebo terkenal dengan ketujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Mbaru artinya rumah, dan niang berarti tinggi dan bulat. Bentuk rumah adat yang bulat dan tinggi mengerucut ini merupakan simbol dari perlindungan dan persatuan. Nenek moyang mereka membangun ketujuh mbaru niang itu di sebidang tanah datar yang dibagian tengahnya berdiri sebuah altar yang dipercaya sebagai bangunan paling sakral. Tujuh mbaru niang yang mengelilingi altar itu memiliki arti untuk menghormati 7 arah mata angin. Wae Rebo adalah satu-satunya desa tradisional di Manggarai yang masih mempertahankan bentuk rumah adat mereka. Sebenarnya masih ada lagi di Todo, hanya saja mbaru niang di Todo hanya berdiri gagah tanpa ada lagi orang yang mendiaminya.

Mata pencaharian penduduk Wae Rebo adalah bertani kopi dan mencari madu hutan, sementara para wanitanya menenun kain. Di sekeliling desa memang banyak terdapat perkebunan kopi milik masyarakat yang dikelola dengan cara yang sangat tradisonal (tanpa pupuk atau pestisida, tanpa alat dan mesin canggih) dan hasilnya adalah biji kopi organik berkualitas sangat baik. Sebagian hasil kebun kopi itu dikonsumsi sendiri (Laki-laki Wae Rebo biasanya mengkonsumsi 8-10 gelas kopi per hari), dan sebagian lagi dijual di pasar di Denge. Biasanya setiap hari Senin mereka akan turun ke Denge dengan membawa kopi, dan kembali ke Wae Rebo dengan membawa bahan makanan seperti beras, gula dan telur. Kini, selain berkebun masyarakat Wae Rebo juga bisa mendapat penghasilan tambahan dari menjual jasanya sebagai pemandu wisata. 

Ayam putih merupakan hewan sakral bagi masyarakat Wae Rebo. Ayam putih biasa dijadikan korban persembahan pada upacara2 adat di sana.

Bagi masyarakat tradisional, kain tenun bukanlah semata lembaran kain, melainkan juga merupakan simbol status, kekayaan, kekuasaan dan martabat pemiliknya. Termasuk dalam adat Flores, kain tenun berfungsi sebagai lambang seni yang memiliki fungsi sosial dan ekonomi, sekaligus perangkat religius yang antara lain digunakan sebagai busana adat, pembungkus jenazah, harta benda bahkan alat tukar. Sebagai pencinta wastra Nusantara, saya pun membawa pulang 2 lembar kain tenun khas Was Rebo yang cantik sebagai suvenir.

Pagi hari, warga desa biasa memetik sayuran di kebun untuk makanan mereka hari itu. Akibat lokasinya yang berada di ketinggian, tidak banyak tanaman yang bisa tumbuh di sana. Sehari-hari mereka hanya menyantap sayur labu dan daunnya. Sumber protein yang paling sering dikonsumsi adalah telur dan sesekali ayam (masyarakat Wae Rebo tidak terlalu sering makan ayam, ayam lebih banyak dipelihara untuk dijadikan korban persembahan dalam upacara adat). Mereka mengolah makanannya hanya dengan garam dan gula. Tanpa bawang, merica, ketumbar, dan bumbu lainnya. Letak pasar yang jauh membuat masyarakat di sana terbiasa makan seadanya.

Sore itu udara di desa Wae Rebo sangat dingin. Hujan baru saja berhenti dan kabut masih menari-nari menutupi pucuk2 mbaru niang. Sore hari biasa dihabiskan anak2 desa dengan bermain di tengah lapang. Bapak2 asik ngopi, dan para wanita sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Makanan yang disajikan memang sangat sederhana, namun rasanya nikmaaaattt sekali. Nasi putih, sayur bening labu, telur dadar dan sambal. Saya suka sekali dengan cabe rawit khas Flores yang walau ukurannya sangat kecil, tapi rasa pedasnya sangat nendang. Aromanya juga sangat khas, berbeda dengan aroma cabe rawit yang ada di pulau Jawa. Sayang sekantung bibit cabe rawit yang saya bawa pulang untuk ditanam di Jakarta waktu itu tidak ada satu pun yang tumbuh.

Malam hari di Wae Rebo adalah beberapa jam yang sangat sepi dan tenang. Untuk kenyamanan para pengunjung yang bermalam di desa, tersedia lampu listrik bertenaga diesel yang menyala hingga pkl. 10 malam saja. Setelah itu, tak banyak yang bisa kita lakukan. Tak ada TV, tak ada sinyal telpon. Lampu mati, artinya sudah waktunya untuk kita beristirahat.

Walau hanya semalam di Wae Rebo, saya merasa mendapat banyak sekali pengalaman dan pelajaran. Kapan terakhir kali kita menyapa dan tersenyum hangat kepada seorang yang baru saja kita temui di jalan? Mengundang orang asing masuk ke rumah dan mengajak mereka duduk serta makan bersama? Kesederhanaan ternyata kadang bisa memberikan kita begitu banyak kebahagiaan.


*Neka hemong kuni agu kalo, adalah ungkapan orang Manggarai, Flores, yang berupa ajakan bagi orang Manggarai untuk tidak pernah melupakan tanah kelahirannya, di manapun mereka berada.



Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s