
Dua tahun yang lalu, seorang teman mengenalkan nama Kaimana dan Triton Bay pada saya. Katanya keindahan matahari terbenam di Kaimana itu tidak ada duanya, dan kecantikan pantai2 di Teluk Triton tidak kalah dari Raja Ampat. Dan saya pun merasa harus membuktikannya sendiri.
Don’t believe everything you hear. Go, see!

Bersama dengan keluarga dan beberapa Kawan Jaganti, kami menghabiskan liburan akhir tahun yang lalu di Kaimana, sebuah kabupaten di Papua Barat yang berdiri pada tahun 2002.
Letak kota Kaimana yang strategis sebagai tempat persinggahan menyebabkan adat dan budaya Kaimana mendapat banyak pengaruh luar dan telah mengalami berbagai akulturasi. Sebagian besar pendatang yang sekarang menetap di Kaimana adalah imigran dari Maluku, Sulawesi Selatan serta pulau Jawa. Para pendatang kebanyak hidup di kantung-kantung pemukiman yang saling terpisah, tidak berbaur dengan suku2 asli di sana. Penduduk asli pribumi seperti suku Irarutu, Mairasi, Kembarau dan Koiwai tinggal di daerah kampung-kampung di luar kelurahan Kaimana kota, dan hamipr sebagian besar mendiami daerah2 kepulauan.
Toleransi antar umat beragama di Kaimana sangat baik. Menurut hasil sensus penduduk 2015, mayoritas agaman penduduk Kaimana adalah Kristen (57%) dan Islam (42%). Sisanya memeluk agama Hindu, Budha dan Agama Suku.

Keindahan panorama senja di Kaimana memang sudah terkenal sejak dulu. Pada era 60an, lagu yang berjudul “Senja di Kaimana” menjadi salah satu buktinya. Diperlukan kecermatan dan keberuntungan untuk bisa menjadi saksi keajaiban ciptaan Tuhan yang satu ini. Langit senja akan terlihat sangaaatt indah sehabis hujan turun di siang harinya. Sepanjang bulan Agustus, jika hujan turun dari pukul 12.00 sampai 15.00, maka langit senja yang spektakuler itu pun akan muncul.
Kami mendarat di bandara Utarom di Kaimana sesaat sebelum tengah hari. Matahari bulan Desember saat itu terasa terik luar biasa. Perjalanan dari Jakarta ke Kaimana cukup panjang, hampir 9 jam termasuk waktu transit di Sorong. Untuk makan siang kami di hari pertama, pilihan kami waktu itu adalah ikan bakar di sebuah rumah makan khas Makassar. Rasa makanannya enak, hanya saja waktu tunggu sampai pesanan kami dihidangkan sangaaatt lama. Model menunggu seperti itu kelihatannya masih jadi sesuatu yang dianggap lumrah di sana. Belajar menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat di tempat yang kita datangi memang ga selamanya menyenangkan, tapi itu jadi bagian dari serunya traveling. You get to know how different people live.
Keesokan harinya, petualangan yang luaaarrrr biasa pun dimulai!
Setelah menikmati sarapan daging rusa yang menjadi ciri khas kuliner Kaimana, kami pun segera menuju ke sebuah dermaga kecil di mana sebuah perahu motor sudah menunggu. Selain ikan, menu daging rusa memang sangat populer di Kaimana, melebihi daging sapi atau ayam. Mulai dari sate, gulai hingga bakso daging rusa. Rusa memang masih diburu secara tradisional di sana, dan perburuan ini bersifat legal. Pagi itu kami dapat jatah makan satu porsi besar nasi goreng telur dengan 2 tusuk sate daging rusa. Kebesaran untuk ukuran sarapan, jadi akhirnya dibungkus untuk bekal di perjalanan.
Selama 4 hari berikutnya saya terus menerus dibuat terkesima dengan keindahan alam di Teluk Triton yang memukau. Berkali2 saya sampai geleng2 kepala, seperti tidak percaya dengan keindahan yang terpapar di depan mata.



Kejutan #1, saat melihat lukisan di dinding purba di desa Maimai. Lukisan tangan yang berasal dari jaman prasejarah itu ditorehkan pada dinding2 ceruk pulau karang. Menurut para arkeolog, motif2 lukisan yang berbentuk abstrak itu adalah penggambaran manusia, flora dan fauna, ragam geometris dan juga benda2 lain yang yang dihasilkan oleh manusia seperti bentuk perahu, bumerang dan tombak. Bagi penduduk setempat lokasi lukisan di dinding itu merupakan tempat yang sakral.
Lukisan dinding prasejarah itu tersebar di beberapa wilayah yang memiliki ketinggian ceruk dan juga tebing karang tiga hingga lima meter di atas permukaan laut. Posisinya yang sulit dijangkau oleh tangan manusia itu somehow justru membantu pelestariannya. Kita hanya bisa menyaksikannya dari kejauhan. Ga kebayang kalau lukisan dinding itu bisa disentuh dengan bebas oleh siapa saja yang datang, sebentar saja pasti rusak…



Kejutan #2, pulau-pulau karang, pasir putih, dan air laut yang bening bagai kaca. Mengarungi lautan menuju Triton Bay adalah sebuah perjalan yang paling mencengangkan yang pernah saya temui. Pulau2 karang yang tersebar di laut lepas itu mengingatkan sama pada film Moana. Typical kepulauan oceania di Samudera Pasifik. Ajaib sekali rasanya melihat ratusan pulau karang yang berdiri tegak di tengah laut berukuran masif. Mengelilingi karst islands dengan perahu kayu memberikan sensasi tersendiri buat saya. Campur aduk antara gembira, bersemangat, kagum sekaligus ngeri.


Pantai2 di Triton Bay mungkin adalah salah sebagian dari pantai yang paling pristine di dunia. Banyak diantaranya yang belum tersentuh manusia. Dari sekian banyak pulau, hanya sebagian kecil saja yang ada dihuni manusia. Waktu itu kami bisa dengan bebas memilih mau berhenti dan bermain pasir di pantai yang mana. Serasa penguasa yang punya pulau dan pantai pribadi. Mau lari2, nari2, loncat2, teriak2, dan berguling2 di atas pasir putih yang lembutnya seperti tepung terigu, ga ada yang larang… Merdeka sekali rasanya….


Dari atas perahu pandangan mata juga bisa menembus ke dalam laut. Airnya yang bening memungkinkan saya melihat dengan cukup jelas ikan2 dan penyu yang berenang ke sana kemari, juga terumbu karang yang cantik berwarna warni. Sekali waktu, saya melihat ada sesuatu dibawah air yang bentuknya seperti gumpalan tinta berwarna hitam yang bergerak mendekati tepi pantai. Ketika saya dekati, ternyata itu adalah ribuan ikan kecil yang berenang bergerombol. Pemandangan yang biasanya hanya saya lihat di layar TV, kali itu bisa saya lihat dan rasakan sendiri. Luar biasa!!



Ga berlebihan memang kalau ada yang menyebut teluk Triton sebagai serpihan surga bawah air. Kecantikan alam yang tersembunyi di dalamnya memang ga ada tandingannya. Bukan hanya cantik, tapi juga sangat kaya! Saya sampai kebingunan memilih kata buat menggambarkan betapa cantiknya laut Papua ini. Saya tidak bisa diving, jadi hanya bisa lihat kebagusannya permukaan saja saat snorkeling. Dan itu pun sudah cukup bikin saya takjub lahir dan bathin. Teman2 yang sempat liat hasil foto2 kami di teluk Triton bilang: bagus sekali! Dan saya selalu bilang, aslinya 100 kali lebih bagus!



Ga seperti Disneyland, Triton Bay ini memang ga cocok buat semua orang. It is not for everybody. Tapi buat kita yang suka berpetualang, bermain2 di alam bebas, dan ga keberatan tinggal beberapa hari di pulau terpencil tanpa penghuni, tanpa listrik apalagi sinyal telpon, saya akan bilang: Triton Bay itu surga! Kita pasti akan lupa daratan, dan mungkin enggan buat cepet2 pulang.



Bukan cuma lautnya, tapi tanahnya juga luar biasa kaya. Bener2 seperti kata Koes Plus:
Bukan lautan, hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada ombak kau temui,
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga….
Hidup memang sangat sederhana dan simpel di Triton Bay. Bangun tidur mau sarapan tinggal cari pohon pisang, petik, goreng, santap dengan segelas kopi panas. Selesai sarapan, main di laut sambil mancing ikan buat makan siang. Kalau ikannya ga cukup buat makan malam, tinggal naik perahu lagi, cari ikan lagi…

Di akhir perjalanan, hati saya dipenuhi dengan ucapan syukur. Sebuah
perjalanan yang luar biasa. Menyenangkan. Penuh kejutan. Tak akan terlupakan.
Bung D Yomaki, terima kasih sudah mengenalkan saya pada Triton Bay. Dan sekarang saya sudah percaya!