in memoriam

2 hari yang lalu, saya iseng2 ngelink ke blog saya yang lama. kaget sekali! ternyata blog itu ga bisa ditemukan! saya ga tau pasti sejak kapan blog itu meninggal 😦

sedih sekali… karena sebagian besar tulisan dan foto2 yang saya taruh di situ ternyata ga ada arsipnya 😦

setelah bongkar2, saya nemu beberapa tulisan yang sempet saya save di kumputer. dan untuk mengenang blog saya yang tercinta itu, tulisan2 itu mau saya re-post di sini…

kalau ada yang belum baca atau kepingin baca lagi, monggo… hiks 😦

good bye old blog. i will never, ever forget you… 🙂

******************

jejak kaki.

Kaki. Mungkin adalah bagian tubuh manusia yang ga terlalu sering jadi pusat perhatian. Tapi itu ga berlaku buat saya. Saya selalu punya obsesi tentang sepasang kaki yang sehat, lengkap dan cantik!

Betul. Semua memang pasti ada sejarahnya. Waktu saya kecil dulu, sepatu yang bagus dan baik adalah barang mewah. Saya sering dapet ‘lungsuran’ sepatu dari sodara2 yang lebih besar. Biasanya memang kebesaran. Tapi, baru belakangan saya tau, ternyata sepatu, bentuk,ukuran dan kualitasnya, amat berpengaruh terhadap pertumbuhan kaki. Dan karena sering pake sepatu lungsuran tadi, bisa ditebak gimana kira2 perkembangan kaki2 saya. 😛 Kadang mengikuti pola kaki Mbak Anu. Kadang terpengaruh konstruksi kakinya Mas Itu. Tapi, Haleluya, masih bisa pake sepatu 😀

Suatu kali, saya lupa waktu itu umur berapa, tapi kayaknya masih SD, saya dibeliin sepatu warna item (kayaknya waktu itu memang wajib harus pake sepatu item buat upacara), merknya Titania (sekarang nyari2 merk ini udah ga ada lagi, mungkin pabriknya udah tutup karena di demo kelompok penentang kekerasan pada anak 😛

Sekilas emang ga ada yang aneh dengan sepatu ini, sampe saya harus tetap memakainya saat upacara bendera di bawah sengatan matahari. Entah terbuat dari bahan apa, yang pasti kulit kaki terasa sangat perih dan tertusuk2! Suakit pol! Dan kalo udah gitu saya cuma bisa berdoa, semoga cuaca segera menjadi mendung, semoga kaki saya ga angus, semoga  saya cepet dibeliin sepatu baru…

Pertama kali saya jatuh cinta sama suami saya, bukan waktu  saya liat mukanya, atau kartu nama atau mobilnya. Tapi justru kakinya. Masih inget banget, waktu itu doi berkunjung ke tempat kos saya di daerah Cipaganti, Bandung. Biasanya doi selalu pake kaus kaki, tapi hari itu gak. Saya liat kakinya yang bersih terawat. Cantik sekali! Dan belakangan saya baru tau, kalo dia memang selalu merawat kakinya dengan baik. Mencucinya sampai bersih, melindunginya dengan kaus kaki, dan memilihkan sepatu yang ‘paling baik yang bisa dia beli 🙂

Bukan cuma kakinya saja yang dia rawat dengan sepenuh hati. Tapi sepatunya juga. Dia pernah jerit2 waktu sepatu kinclong-nya keinjek orang di Kereta Api Parahyangan Bandung-Gambir. Ngomel2 kalo sampe Bianca nginjek sepatunya yang tersimpan rapih di bawah jok mobil. Apalagi waktu sepatunya dipake alas tidur sama kucing yang sempat mampir dan bermalam di teras depan rumah. Terakhir, sabtu minggu lalu. Waktu kami mau pergi ke resepsi kawinan temennya Bapak, saya sempet kaget waktu masuk mobil. Ada sepasang sepatu kinclong bertengger di jok belakang. Well. kadang kita memang perlu menunjukkan kecintaan kita pada sesuatu dengan meletakannya di tempat yang terhormat 😀

Sepasang kaki lain yang juga sangat saya cintai adalah milik putri tercinta, Bianca. Sebagai bentuk ‘balas dendam’ karena tidak memiliki fasilitas yang cukup baik untuk merawat kaki saya waktu kecil, sekarang  saya berusaha optimal untuk menjaga keindahan kaki2 kecil Bianca. Sepatu yang baik is a must! Jadi inget sama satu potongan dialog di Film Friends with Money:

“Why do you have to spend $80 just to buy a pair os shoes for a 5 years old boy? He’s only be wearing it for a few months…”
“He is growing. That’s why he needs a good pair of shoes!”

(* dialog aslinya ga persis gitu, tapi artinya kurang lebih begitu. Yang jelas intinya pasti gitu…. *)

Memang ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sepasang kaki yang sehat dan cantik. Dan untuk Bianca, I’ll pay the price!

Kaki kecil Benaia punya cerita tersendiri. Sama seperti semua Ibu yang baru saja melahirkan bayinya, pertanyaan “lengkap ga?” pasti sempat terlintas. Sebagian malah sebelum bayinya lahir. Mungkin itu salah satu sebab kenapa USG 3D dan 4D hari2 ini laris manis.

“Puji Tuhan, bayinya sehat, lengkap dan ganteng kayak Bapaknya…” Itu kalimat pertama yang saya denger dari Ibu saya waktu saya didorong keluar dari Ruang Operasi. “Puji Tuhan”.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan syukur kepada Tuhan, belakangan saya liat kalo ternyata, walaupun semua jarinya lengkap, ada satu keistimewaan di jari2 kakinya Benaia. Untung laki2. Bebe kan ga perlu pake selop2 model terbuka kalo udah besar nanti….

Terima kasih ya Tuhan…. Walapun saya ga bisa punya sepasang kaki yang cantik of my own, saya tetap bisa turut menikmati dan memelihara 3 pasang kaki cantik milik orang2 yang saya sayangin … 😀

*********************

antje hehamahua post.

Namanya Antje. Suaminya Gustaf Adolf Hehamahua. Ayahnya Jan Pieter Post. Dia adalah Oma saya. Ibu dari almarhum Papi saya. Oma Buyut dari Bianca dan Benaia.

Saya menghabiskan bertahun-tahun hidup saya bersama Oma saya. Beliau tinggal bersama kami, di rumah kecil almarhum Papi saya, sampai akhir hidupnya.

Sama seperti kebanyakan Oma, Oma saya suka sekali bercerita. Tentang masa mudanya. Tentang perjuangan hidupnya, tentang Opa.

Betapa Oma sangat mencintai Opa. Sangat menyanjung dan memujanya. Di mata Oma, Opa adalah lelaki yang paling sempurna. Satu2nya lelaki di dunia yang berhak mendapatkan kesetiaannya.

Ketika Opa meninggalkan Oma, kembali menghadap Penciptanya, Oma masih sangat muda. Dan cantik. Banyak lelaki yang datang, menawarkan diri untuk menggantikan tempat Opa dihatinya, dan untuk menemani Oma menghabiskan sisa hidupnya. Oma menolak. Buatnya hanya ada 1 laki2 dalam hidupnya. Opa.

Sekarang Oma sudah tidak ada. Tetapi pelajaran akan kesetiaannya tidak akan pernah hilang. Di mata saya, Oma adalah perempuan paling setia yang pernah saya kenal. Dan saya ingin menjadi pewaris kesetiaannya….

******************

sesuatu yang berulang

Sadar ga, kalo dalam hidup kadang kita suka menemui kejadian yang berulang? Mungkin dengan pelaku, waktu atau tempat yang berbeda.

Dua minggu yang lalu, saya mengalami sesuatu yang mengingatkan saya pada suatu kejadian lain bertahun2 yang lalu. Dengan pelaku yang berbeda, waktu dan tempat yang berbeda, tapi dengan kebodohan yang hampir sama….

Bandung, 1995

Seorang sahabat saya, yang tinggal di sebuah komplek perumahan mewah di daerah Sukarno Hatta, baru saja mempekerjakan seorang PRT baru. Seorang gadis lugu, cantik, chubby, dengan kulit luar biasa bersih dan menjadi kemerahan kalo dia sedang agak kepanasan, dan rambut hitam panjang terurai yang biasanya dia kepang dua, namanya Wiwi.

Waktu pertama kali ketemu sama Wiwi, saya sempet terkesima, di mata saya Wiwi mirip boneka porselin yang kedua belah pipinya dicat warna merah seperti tomat. Saya sempat mengingatkan sahabat saya untuk hati2, takut kalo kakak laki2nya tanpa sengaja jatuh cinta sama Wiwi 😉

Sahabat saya ini punya hobi telepon-teleponan. Maklum, jaman segitu belum musim HP, SMS dan Chatting. Jadi kegiatan ngegossip biasanya dijalankan secara tatap langsung atau lewat telepon-teleponan. Dia biasa menghabiskan waktu berjam2 sehari untuk telepon. Pernah suatu pagi kami ngobrol di telepon sampai hampir 1 jam, sebelum kemudian dia menutup pembicaraan dengan: “Gitu dulu ya Ca…. Entar sisanya gw ceritain lagi di Kampus. Sampe ketemu 2 jam lagi ya…. :D” (kalo dua jam lagi aja mau ketemu di kampus, terus ngapain ngobrol di telepon sampe 1 jam?)

Eniwei, kembali ke Wiwi, suatu siang, Wiwi membuktikan keluguannya. Dia pamit keluar sebentar, katanya mau ke Wartel.  Sekitar 1 jam kemudian, Wiwi kembali dengan mata yang sembab, dan tentu saja pipi yang kemerahan.

Sahabat Saya (SS): “Kamu kenapa Wi?”

Wiwi (W): “Hiks… KTP saya ditahan sama yang punya Wartel Mbak”. Hiks…

SS: “Lho, kenapa?”

W: “Saya ga bisa bayar Mbak…”

SS: “Lho, emang kamu abis telepon ke mana?”

W: “Ke Jakarta Mbak…”

SS: “Kamu telepon siapa di Jakarta?” (maklum Boss, jadinya boleh nanya2 yang bukan urusannya ;-))

W: “Pacar saya Mbak”

SS: “Emang tagihan teleponnya berapa?”

W: “Enam puluh tiga ribu Mbak” (jaman segitu, gajinya Wiwi 60 ribu per bulan)

SS: “Ya ampun Wi…… Emang kamu ga tau kalo interlokal ke Jakarta siang hari bolong gini mahalnya setengah mati? Kamu kok iseng amat pacaran berjam-jam lewat telpon tengah hari gini sih Wiii…..? Saya aja kalo mau interlokal mesti nunggu jam 9 malem dulu…”

W: “Maaf Mbak. Saya ga tau kalo bayarnya bakalan mahal segitu. Abis saya sering liat Mbak telepon-teleponan sampe lama banget, saya pikir……..”

Kelanjutannya bisa ditebak sendiri. Setelah hari itu, saya tidak pernah melihat boneka porselen dengan pipi yang dicat merah seperti tomat itu di rumah sahabat saya lagi.

Jakarta, Februari 2007

Sudah 1 bulan lebih saya menikmati fasilitas 3G yang disediakan Operator Telpon GSM saya. Kesannya: memuaskan. Jos Gandhos! Ibarat jalan: jalan tol. Ibarat angkutan umum di Jkt: “busway”. Karena tarifnya disosialisasikan dalam satuan yang relatif kecil, saya jadi tidak sadar kalau sesuatu yang kecil itu bisa berubah jadi sangat besar.

Mulai dari down load e-mail, browsing sampe blogging saya lakukan lewat HP. Dari yang tingkat urgenitasnya tinggi, sampe hal2 yang sepele dan nyaris ga berguna. Hampir tiap ada kesempatan, dan di sela2 waktu menunggu, yang saya lakukan adalah “ber-triji party”. Senaaang…. 😀

Sampai 2 minggu yang lalu, billing statement telpon saya dateng. Saya sempat dibuat melongo, semelongo-melongonya. Sama seperti waktu saya ketemu sama Wiwi pertama kali, sekitar 12 tahun yang lalu….. Ga ada majikan yang ngomel2 atau Penjaga Wartel yang nahan KTP. Tapi saya yakin, ada kesamaan mendasar antara saya dan Wiwi. Sama2 sedih dan menyesal. Sama2, sedikit, bodoh.

Kelanjutannya bisa ditebak sendiri.

********************

ibu pembunuh

Bukan sulap. Bukan sihir. Bukan pula cerita horor ;-p Tapi ini kisah nyata, tentang seorang Ibu penjual nasi rames di daerah Dago Timur, Bandung.

Saya pertama kenal Ibu ini sekitar 15 tahun yang lalu. Tentu saja dia bukan bener2 seorang pembunuh. Kalau pun dia pernah membunuh, saya yakin pasti yang dibunuhnya cuman kecoak, nyamuk, atau paling banter ikan atau ayam.

Jaman segitu, saya punya temen kuliah yang nge-kost di daerah perbukitan Dago Timur. Tempatnya asik, jadi saya dan beberpa teman 1 genk hobby nongkrong berlama2 di sana. Biasanya sambil ngerjain tugas, nunggu jam kuliah berikutnya, ngegossip, bikin contekan buat ujian atau sekedar ngintip telenovela Cassandra ;-).

Di deket tempat kos temen saya itu, saya punya langganan warung nasi rames yang murah meriah. Maklum, pada masa itu saya kan belum berpenghasilan, jadi punya langganan warung nasi murah is a must! Menu favorit saya adalah 1 piring nasi putih, sop sayur dan telur dadar yang dicampur sama irisan bawang daun dan (kayaknya) tepung maizena :D, atau sekali2 pake semur ati ampela kalo pas lagi punya uang lebih. Harganya kalo nggak salah sekitar 2000 rupiah sebungkus. Dalam ingatan saya, rasa nasi rames itu uenaaaakkkkk banget. Apalagi kalo dimakan pas tengah hari, abis jalan naik turun sepanjang Dago Timur, sambil nonton Seputar Indonesia. Hhhmmmm, tiada taranya!

Uniknya, Ibu penjual nasi rames itu punya pembawaan yang ga begitu ramah. Mukanya hampir selalu ditekuk. Senyumnya mahal sekali. Makanya saya dan teman2 ngasih julukan “Ibu Pembunuh”. Walapun sebenernya dia ga pernah membunuh siapa2, apalagi nafsu makan kami :D.

Sekarang sih saya mengerti betul, kenapa mukanya selalu kusut dan berkerut, gimana mau sering2 senyum kalo untung dari jualan nasi ramesnya pasti ga cukup buat beli apa2, belum lagi kalo ada anak2 kos yang mungkin sering ngebon dan suka pura2 lupa bayar. Atau ada pembeli yang rada rewel kayak saya:

“bu, telornya minta tolong pilihin yang gede ya…”

“bu, sambelnya tambah sedikit dong…”

“bu, nasinya boleh ditambahin dikit lagi, ga?”

Tiba2 saja, tadi pagi saya inget sama sang Ibu Pembunuh. Ingat dengan wajahnya yang selalu ditekuk, juga dengan menu masakanan kesukaan saya itu. Kira2 apa kabarnya beliau ya? Semoga beliau berada dalam keadaan sehat dan bahagia. Bagaimana pun, beliau punya jasa besar dalam hidup saya…..

*********************

kenapa bola mata?

Seorang teman bertanya kepada saya: kenapa bola mata? Kenapa bukan bintang matahari. Atau intan permata. Atau jantung hati?

Bukan matahari. Saya mencintai anak2 saya lebih dari saya mencintai matahari. Ada saat di mana saya berharap matahari tidak bersinar, atau kalaupun dia bersinar, saya ingin sinarnya tidak terlalu besar. Walaupun tentu ada banyak juga saat dimana saya berdoa agar diberi kesempatan menikmati matahari. Tetapi saya selalu menginginkan kedua belah bola mata saya.

Bukan bintang. Karena tidak selamanya bintang kelihatan di langit. Yang walau bentuknya cantik dan sinarnya menarik, mereka tidak selalu bisa dinikmati. Bahkan sebelum mereka mati. Tetapi saya selalu bisa ‘melihat’ dan merasakan kedua belah bola mata saya.

Bukan intan dan permata. Yang kendati cantik dan indah luar biasa serta sangat berharga, tetap saja bisa diukur nilainya. Tetapi saya tidak pernah bisa mengukur nilai kedua belah bola mata saya.

Bukan jantung hati. Karena letaknya yang di dalam tubuh, kita tidak bisa langsung melihatnya kapan saja kita mau. Dan karena tidak kelihatan, kadang kita lupa untuk menjaganya. Tetapi saya tidak pernah luput menjaga kedua belah bola mata saya.

Saya mencintai anak2 saya, seperti saya mencintai kedua bola mata saya. Saya tidak pernah berhenti menginginkan mereka. Saya selalu bisa ‘melihat’ dan merasakan mereka. Mungkin tidak selamanya dengan mata lahir. Mereka priceless. Lebih berharga dari apa pun. Dan saya ingin selalu menjaga mereka. Seperti saya menjaga kedua bola mata saya….

*****************

bule kampung melayu

GOKIL! Sampe hari ini, kalo saya inget sama kejadian yang satu ini, saya masih saja kepingin nyengir kuda sendiri 😀

Seputaran Stasiun KA Jatinegara, 2000.

Saya sudah tinggal di Jakarta. Calon suami saya yang waktu itu masih pacar saya, masih tinggal di Bandung. Dan karena kami sangat mencintai Bandung, saya memilih untuk menghabiskan hampir semua week end kami di Bandung. Dengan kata lain, saya yang ngapelin calon suami saya di Bandung. Saya berangkat dari Stasiun Jatinegara setiap Jumat sore, dan kembali dari Bandung Senin dini hari.

Suatu pagi, saya tiba di Jatinegara sekitar jam 8-9 pagi. Seperti biasa, terburu2, mau langsung menuju kantor. Jam2 segitu, agak susah nyari Taxi di daerah stasiun Jatinegara. Kecuali kalo saya mau naik Taxi2 bodong yang ga pernah mau pake argo. Biasanya taxi nya udah jelek, supirnya galak, baunya apek, dan ngeset harganya ga pake hati 😦

Pagi itu, saya memutuskan untuk naik angkot saja. Karena sudah sekitar 15 menit menunggu, belum juga dapet taxi. Waktu saya sedang nunggu angkot di pinggir jalan, tiba2 ada seorang bapak tukang parkir yang menghampiri saya:

“Mbak, kalo mau nyegat angkot agak ke sebelah sana sedikit. Kalau di pertigaan gini biasanya mereka ga mau berenti”

“OK. Thank you”

Kenapa kok saya tiba2 sepik2 londo waktu itu? Saya juga ga tau. Reflek aja. Tokh kata2 yang saya pake waktu itu bener2 bahasa umum, semua orang pasti ngerti. OK. Dan thank you. Tapi saya ga sadar kalo sepik2 londo saya pagi itu ternyata berbuntut panjang….

Gara2 saya bilang: “OK. Thank you”, sang bapak tukang parkir tadi berpikir kalo saya bukan orang lokal. Mungkin tebakannya saya ini orang interlokal, kalo bukan dari brunei, ya mungkin dari vietnam :D. Kalao dituduh orang Jerman atau Londo kayaknya ga mungkin. Karena rambut saya yang warnanya cuma kemerahan dan kulit saya yang coklat muda ;-p Selanjutnya dengan terbata2 bapak itu mencoba untuk bicara dengan saya dalam bahasa londo patah2:

“Where you going?”

“Kampung Melayu”, saya jawab pendek, sekenanya.

“You take that car”, katanya sambil menunjuk ke arah mikrolet jurusan Kampung Melayu.

“OK. Thank you” Lagi2 saya terjebak dalam reflek ber-sepik2 londo. Aneh, kenapa waktu itu saya ga coba untuk klarifikasi ke bapak itu ya? Entahlah…

Sebuah angkot jurusan kampung melayu berhenti di depan saya. Saya langsung naik, pengen segera menghilang dari pandangan bapak tadi, supaya saya ga terus terjebak dalam sepik2 londo yang lebih dalam lagi. Apes! Mengantar saya naik ke angkot, bapak tadi sempet meninggalkan beberapa patah pesan:

“Be careful, Miss… This car go to Kampung Melayu. You just stop at the Terminal. OK!”

“OK. Thank you.” Ada sedikit kemiripan antara saya dengan keledai 😀

Seorang ibu muda yang duduk dalam angkot mendengar apa yang diucapkan bapak tukang parkir. Dan terjadilah transfer asumsi dari bapak tadi ke ibu dalam angkot. Ibu baik hati itu juga mengira saya orang interlokal ;-p

“You’re going to kampung melayu?” Sepik londonya jauh lebih better 😀

Saya hanya mengangguk. Ga ingin kekecauan tambah parah. Ibu baik hati itu masih berbicara beberapa kalimat lagi. Tapi saya sudah ga bisa konsentrasi lagi. Saya bener2 ingin segera sampai di terminal kampung melayu, dan ngacir…!!

Pesan moral yang bisa ditangkap: Jangan suka nyegat angkot di pertigaan. Karena masalahnya bisa berbuntut panjaaang… ;-p

*********************

one piggy afternoon

Saya emang bukan tipe orang yang super higienis. Setidaknya waktu jaman masih perawan dulu. Kalo sesudah punya anak sih emang sedikit berubah, jadi bawel banget kalo udah urusan kebersihan (**ah…, masa….?**). Walapun kalo urusan kerapihan mah teteuuuppppp, masih selalu menuai protes 😀

Tapi, orang paling jorok di dunia pun mungkin akan tetep mikir2 1000 kali kalo harus berbagi kamar mandi dengan seekor miss piggy (atau mr piggy? never really found out… :-p).

Desa Watumaeta, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

1992.

Suatu siang, setelah lelah bekerja di lapangan, membantu warga desa membuat sumur pompa, saya pulang ke rumah salah satu warga desa yang saya tumpangi. Duduk sebentar, menunggu keringat sedikit mengering. Sebentar lagi saya pasti dipanggil ‘Ibu Angkat’ saya untuk makan siang. Dalam perjalanan keluar menuju kamar mandi yang letaknya di halaman belakang rumah, saya sempat melirik meja makan. Nasi putih, kentang rebus dan beberapa potong ikan asin bakar. Cukuplah buat menggugah selera orang selapar saya.

Dengan berbekal sepotong handuk, dan 1 gayung plastik berisi macem2 peralatan mandi standar, saya pun melangkan ke halaman belakang, menuju 1 bangunan semi permanen ukuran sekitar 2×3 m, tanpa langit2 dan pintu, tempat dimana kami biasa membersihkan diri.

Sedang saya asik membersihkan sisa2 kotoran, keringet dan daki yang menempel di badan, tiba2 dari arah belakang saya kedengeran suara “grok-grok-grok”. Walapun saya ga familiar dengan suara itu, tapi saya bisa langsung nebak suara apa itu.

Kaget berat dan setengah meloncat, saya berusaha membalik badan supaya bisa ngeliat asal bunyi yang tadi tiba2 nongol di belakang saya. Tebakan saya bener. Persis di depan pintu, seekor miss Piggy lagi asik memperhatikan saya, sambil sekali2 ngajak ngobrol “grok-grok-grok”. Cepet2 saya berdoa dalem hati biar dikasih hikmat, kebijaksanaan dan ketenangan dari Yang Maha Kuasa, supaya saya tidak melakukan kebodohan, sebaliknya bisa menentukan langkah terbaik apa yang mesti saya ambil.

Saya mulai menelusuri beberapa option di kepala saya:

Berteriak, tidak mungkin. Kalo orang2 denger suara saya, mereka pasti langsung menyerbu kamar mandi, dan saat itu saya betul2 tidak dalam kondisi siap bertemu siapa pun.

Pingsan, saya ga tau gimana caranya. Setidaknya kalo direncanain.

Lari, ga mungkin. Satu2nya exit way udah ketutup sama badannya si Miss Piggy. Dan saya ga mau ambil resiko numbruk doi…

Ngusir miss Piggy, kayaknya ini emang satu2nya opsi yang paling masuk akal.

So, sambil terus komat-kamit, saya ngambil satu gayung air dari bak, dan mulai meng “hush-hush” si miss Piggy. Sambil betul2 terus berdoa, biar ga terjadi insiden yang tidak diinginkan. Butuh waktu beberapa menit sebelum miss piggy ini akhirnya bersedia beranjak menjauh dari tempat dia menonton saya.

Phew!!! Pengalaman yang ga pernah bisa saya lupakan. Bukan karena saya tipe pendendam, tapi karena pengalaman siang itu mengajarkan saya mengerti bagaimana rasanya berada di ujung tanduk….

****************

Advertisement

13 thoughts on “in memoriam

  1. lho kok blognya ngilang gitu aja ? nah lho

    aku pikir tdnya beneran ibu itu membunuh hahhaha…kalo kesana lagi,mampir lu jeng. and kali ini bayar pake duit 50 ribuan, kembalinya gak usah diambil 😛

  2. Lessscaaaaaaaaaaa….gue sampe sakit perut baca bule kampung melayu..asli gue ketawa sampe anak2 bingung..sampe gue panggil ayah biar baca..ngebayang konyol banget spii.k..londo di mikroleet hua heeee…asli kocak..kebayang tengsin campur aduk…:-))

  3. dian: iya tuh… sedih deh 😦
    btw, pengennya juga kapan mampir kewarung nasi ibu itu lagi. tapi jalannya udah rada2 lupa… 😛

    nuke: hehehehe…, aku juga kalo inget2 masih suka berasa tengsin2 gimanaaa… gitu 😛

  4. blog..ilang..???
    waduh..ada gak komite perlindungan blog ilang..?? spy kita bisa minta pertanggung jwban.
    wakakakaakawakak….one piggy afternoon-nya bikin bayangin seorang lesca..sedang nude..bawa gayung..meng- hush..hush..miss.piggy..[ato mr.piggy..]…
    and..
    bikin aku..langsung ngelih..krn mesem2 dhewe..
    thanks..sist.
    GBU

  5. weleh..weleh baca judulnya saya udah siap2 nguatin hati ..eh ternyata blognya yang “ilang”…sedih ya buu kok bisa seh?? aku mau cek juga blogku yang lain takut ngilang juga…btw,aku baru baca sampai si wiwi nih…ntar lanjut deh..seru banget ceritanya dan gak ngebosenin!! biar banyak sekalipun…

  6. gw masih inget kok Ca jalan ke warung ibu pembunuh tea.. 😀

    *langsung ngacir ke blog lama, jangan2 ilang juga, secara sama2 blog.com*

  7. *nangis bombay*
    ternyata blog lama gw juga hilang Ca…
    gw masih bengong nih, blog pertama yg pernah gw buat http://hafizhku.blog.com
    isinya ada step2 perkembangan Hafizh sejak dia lahir sampai 4 tahunan
    juga kue2 pertama gw…
    dan gw gak sedikitpun punya copy catatannya

    *sediiih…*

  8. rie: hehehehe…, nggilani pol yo jeng? 😛

    eliza: nggak ngerti nih liz. padahal waktu kami akad sign up dulu dia ga bilang apa2…
    pdhl setauku, banyak juga blogs yang udah lama ga diupdate tapi tetp eksis. entahlah…. nasib 😦

    larisa: blog.com sentimen sama aku kayaknya jeng…
    opa buyutku org belanda. beliau dulu tentara yang dines di indo. mantan penjajah. hehehe 😀

    shantie: sssttt…, kalau kedengeran mas garin ga enak nanti? lha…, nggak nyambung blas ya? hahahaa :))

    sisesu: sedihnya ampir2 sama jeng… 😛

    mama icel: suwun yo jeng…. doakan semoga selalu punya ide buat ditulis 😀

    puak: iya… aneh bin ajaib emang 😦

    ratih: surat, nyanyi bareng yuk….:
    ya naseeebbb…, ya nasseeebbb…. :((

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s