dalam perjalanan mudik kenangan ke gang kupa kemarin, salah satu orang yang saya kunjungi adalah bu joni. beliau adalah salah satu pahlawan iman saya dan keluarga. almarhum pak joni dan bu joni lah yang pertama kali mengajak kami ke gereja pantekosta (gpdi) padalarang. sebelumnya, kami biasa pergi ke gereja (yang lama) sebulan 1-2 kali. kadang malah lebih sedikit. kecuali kalau sedang musim ulangan umum di sekolah. saya bisa ke gereja tiap minggu, biar dapet nilai tujuh atau delapan π tapi setelah bergereja di gpdi padalarang, frekuensi ibadah kami mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
rumah bu joni hanya sepelemparan piring jauhnya dari rumah kami. piringnya piring beling, dan yang ngelempar sudah menghabiskan isinya terlebih dahulu. rumahnya sederhana saja. ada halaman yang cukup luas untuk menanam pohon pepaya di depannya. buahnya manis sekali. kalau sedang panen, kami juga sering kecipratan.
bu joni punya 3 anak laki2 yang sebaya dengan saya. kami berteman dan biasa pergi ke sekolah minggu bersama2. tapi kami tidak pernah saling naksir π
almarhum pak joni dan almarhum papi adalah dua sahabat. mereka sering menghabiskan waktu bersama. ngobrol berlama-lama. berbagi suka, duka dan rokok (dengan sembunyi2). pak joni selalu membawa kertas rokok dan tembakau di saku celananya. saya sering memperhatikan dia melinting rokok di teras rumahnya. baunya tajam menusuk, seperti bau ikan asin.
selain sama2 suka merokok dengan sembunyi2, pak joni dan papi juga punya hobi lain yang sama. menyanyi. ada sebuah lagu pantekosta lama yang seringkali mereka nyanyikan bersama:
“biar saya miskin di sini,
tapi kaya di sorga,
meski diolok di sini,
tetapi mulia di dalam sorga….”Β
kebetulan lagu itu bukan lagu favorit saya.
pada suatu masa, satu2 nya jam di rumah kami rusak. jam itu benar2 sematang wayang. tidak punya infal. untung rumah bu joni bisa ditempuh dalam beberapa detik saja. jadi setiap kali butuh pengetahuan akan waktu, kami akan berlari ke rumah bu joni:
“tante, sekarang jam berapa?”
“jam setengah tujuh”
“terima kasih tanteee….”
masih teralalu pagi, kembali ke rumah. dan beberapa saat kemudian:
“tante, kalau sekarang jam berapa?”
“jam tujuh kurang seperempat”
“terima kasih ya tanteee…”
lari pulang ke rumah, ambil tas, berangkat ke sekolah.
ga bisa saya bayangkan kalau rumah bu joni berada di gang anggur atau durian. bukan di gang kupa.
sama seperti mang wawa, ceu yati dan beberapa teman lama kami di sana, penampilan fisik bu joni sepertinya juga ga terlalu banyak berubah. model dasternya masih sama. gulungan rambutnya stabil. model kaca matanya juga. sedikit berbeda dengan saya π
terima kasih ya bu joni,
untuk sudah mengajak kami ke gereja,
untuk pepaya, kerupuk gendar, dan ikan asinnya,
untuk kesabarannya membantu kami melihat waktu,
untuk semuanya…
Tuhan Yesus menjaga, menemani dan mendekap ibu senantiasa,
sampai tiba saatnya semua menjadi ‘mulia di dalam sorga’.
amin.
Luar biasa bu… hebat
terima kasih… yg hebat kan Tuhan Yesus π