Setiap denger nama Jericho, saya selalu ingat sama cerita Sekolah Minggu tentang Yosua dan Kaleb dan tentang sebuah kota yang berlimpah susu dan madu, serta sebuah lagu yang diajarkan Guru Sekolah Minggu saya:
Teretet, bunyi trompet umat Allah,
Teretet teteeeetttt…..
Berkeliling kota tak mengenal lelah,
Teretete teteeetttt….
Akhirnya tembok Yerikho Tuhan runtuhkan….
Jericho adalah sebuah kota di dekat sungai Yordan di Tepi Barat, yang sejak tahun 1994 berada di wilayah teritori Palestina, jaraknya 55 km dari Jerusalem. Para ahli memperkirakan umur kota tua ini sudah lebih dari 10.000 tahun, dan dianggap sebagai kota tertua di dunia.
Kami melewati jalanan yang menurun menuju Jericho. Ini dikarenakan kota tua itu berada 258 meter dibawah permukaan laut. Dalam perjalanan menuju Jericho kita akan melewati titik 0 permukaan laut tsb. Jalanan yang dihiasi pemandangan gurun di kiri dan kanannya itu juga dikenal lewat cerita Alkitab tentang perumpamaan Orang Samaria yang baik hati, the good Samaritan.
Jalanan di sekitar titik 0 ini cukup sepi. Jadi kita bisa berhenti untuk foto2. Di situ saya melihat sebuah warung yang jualan kopi, minuman dan snack. Bener2 sendirian di tengah jalan yang sepi. Saya sempet liat seorang anak kecil dan seekor anjing yang menemani bapak2 muda pemilik kedai itu.
Jalan menurun sedikit, saya ketemu sebuah karya seni yang bentuknya menarik. Di papan tertulis “Awakening. Sculptor: Or-Nah Ran”. Karya seni cantik yang berdiri kokoh dan sendirian dalam apitan langit yang biru dan padang gurun yang kecoklatan. Sayang sekali karya seni cantik itu mulai dipenuhi coreng moreng graffiti orang2 yang sedang kesepian atau jatuh cinta.
Setelah melewati perjalanan sekitar 1 jam lamanya, kami pun tiba di kota Jericho. Kota yang dalam bahasa Ibrani berarti “the city of palm trees” ini ditumbuhi banyak sekali pohon kurma. Dan kurma Jericho yang berjenis Medjoul Date yang itu merupakan kurma yang terbaik di dunia. Medjoul Dates diberi julukan “the king of fruits” karena kualitasnya yang tinggi dan kandungan nutrisinya yang luar biasa.
Selain julukan ‘the city of palm trees’, Jericho juga punya julukan lain: ‘the city of springs’. Banyaknya mata air yang tersebar di daerah ini membuat pemandangan Jericho menjadi sangat unik. Kita bisa menemukan banyak lahan hijau yang berada di tengah gurun yang gersang. TUHAN memang ajaib!
Salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi di Jericho adalah Mount Temptation, sebuah perbukitan di Padang Gurun Yudea yang dipercaya sebagai tempat di mana TUHAN Yesus dicobai setelah berpuasa 40 hari 40 malam lamanya, seperti yang diceritakan dalam Alkitab (Matius 4:8).
Di atas salah satu puncak bukit kita bisa melihat sebuah bangunan biara Kristen Ortodox yang dikenal dengan nama Mt. Tempetation Monastery. Biara ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki (30-60 menit) atau lewat jalur cepat dengan menggunakan cable car (5-10 menit). Tidak seperti kebanyakan Biara Yunani, pengunjung wanita diijinkan masuk ke dalam Mt. temptation Monastery.
Mengakhiri kunjungan kami di Jericho, kami berhenti untuk makan siang di restoran yang sangat terkenal di sana, Mt. Temptation Restaurant. Kami sempat ketemu dengan beberapa group tour dari Indonesia yang juga berhenti di sana untuk makan siang. Restoran itu letaknya bersebelahan dengan situs arkelogi Tel-es Sultan, yaitu reruntuhan kota tua Jericho yang sudah berusia 11 ribu tahun.
Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Dead Sea atau yang kadang juga disebut dengan Salt Sea. Sekitar seperempat jam perjalanan dari Jericho. Walaupun namanya Dead Sea yang berarti laut mati, Dead Sea sebetulnya bukanlah sebuah laut, melainkan danau yang karena ukurannya yang besar jadi terlihat seperti laut.
Dead Sea terletak 423 meter dibawah permukaan laut, dan menjadi tempat paling rendah di seantero bumi. Dan karena air di danau ini memiliki kadar garam yang sangat tinggi, kita bisa dengan mudah mengapung di atas airnya. Hanya saja tingkat keasinannya yang mencapai hampir 9x lebih asin dibandingkan air laut pada umumnya, menyebabkan tidak ada hewan air yang bisa bertahan hidup di sana.
Satu lagi yang istimewa dari Dead Sea ini adalah lumpur hitamnya yang mengandung banyak mineral yang bermanfaat bagi kesehatan dan kecantikan kulit. Diantaranya:
– untuk detoksifikasi, mengangkat sel kuli mati dan mengangkat kotoran serta racun yang ada di kulit
– memperbaiki sirkulasi darah
– menutrisi kulit, bikin kulit jadi sehat, cerah, halus, lembut dan lembab
– menyembuhkan berbagai penyakit kulit
– membantu proses terapi untuk penyakit rematik, radang sendi dan osteoarthritis. Mereka yang pernah mengalami cedera otot atau baru menjalani operasi ortopedi juga bisa memanfaatkan black mud ini untuk membantu terapi penyembuhannya.
Oleh sebab itu, mereka yang berkunjung ke Dead Sea umumnya akan menyempatkan diri untuk mengambil dan melumuri tubuhnya dengan black mud. Beberapa diantaranya bahkan membawa pulang black mud itu dalam botol2 atau container plastik. Katanya kalau sudah sampe di Indonesia bisa dijual dengan harga yang cukup mahal 🙂
Tapi kalau males bawa2 lumpurnya, kita juga bisa beli produk2 olahannya. Seperti sabun, masker dan berbagai kosmetik yang sudah dikemas dengan merk2 dagang seperti Ahava, Jericho dan Seacret. Produk2 ini banyak di jual di toko2, supermarket dan duty free shop di airport.
Cerita tentang Dead Sea ini mengingatkan saya pada seorang Ibu, teman rombongan saya di group tour sebelumnya. Beliau mengidap diabetes akut. Kakinya mengalami luka yang menurut dokter sudah tidak bisa diobati sehingga perlu diamputasi. Ibu yang sakit ini sempat mencelupkan kakinya di Dead Sea dan yakin kalau dia pasti akan sembuh. Malam harinya saya mendapat kabar kalau Ibu itu kesakitan, luka2 di kakinya nyaris tak tertahankan sampai Tour Leader kami perlu memanggil seorang dokter untuk menolongnya. Keesokan harinya saya melihat Ibu itu berjalan dengan kaki yang pincang.
Singkat cerita, beberapa minggu setelah kami kembali ke Indonesia, Ibu itu menghubungi saya dan bercerita kalau saat itu kakinya sudah sembuh! Dokter yang pernah menyarankannya untuk menjalani amputasi pasti bingung setengah mati…
Anyway…,
Udara yang sangat panas siang hari itu memaksa kami untuk tidak berlama2 di Dead Sea dan memutuskan untuk segera kembali ke Jerusalem dan menghabiskan sore sambil beristirahat di Hotel. Hari itu adalah hari Jumat, hari buka Sabat untuk orang Yahudi. Dan karena sedang musim panas, matahari baru terbenam sekitar pukul 8 malam, dan saat itulah Sabat dimulai.
Karena lelah dan lapar, kami turun untuk makan malam di hotel pada pukul 7.30 (sekitar jam setengah empat sore waktu Jakarta 😀 ). Sejam kemudian, ada rombongan keluarga2 orang Yahudi yang juga turun untuk makan malam. Jumlah mereka banyak sekali, mungkin sekitar 300an orang. Menarik sekali memperhatikan bagaimana mereka menjalankan tradisinya menyambut hari Sabat.
Besoknya saya mendapat informasi dari Saber, driver kami, bahwa Hotel tempat kami menginap merupakan salah satu hotel yang menyediakan makanan halal untuk orang Yahudi. Itu sebabnya setiap Sabat banyak sekali keluarga Yahudi yang menginap di sana. Mereka berkumpul bersama keluarga untuk merayakan Sabat. Menurut tradisi orang Yahudi, mereka tidak diijinkan untuk bekerja (termasuk memasak) pada hari Sabat. Jadi bagi mereka yang mampu, menginap di Hotel bersama keluarga memang jadi pilihan yang pas.
Lanjut lagi nanti yaaa…. 🙂