Hampir di setiap sudut kota Banda Neira, kita bisa menemukan jejak2 peninggalan sejarah jaman kolonial. The whole island itself is like a huge museum. Pada masa itu VOC membangun kota Banda Neira sebagai sebuah kota modern yang menjadi pusat perdagangan pala dan fuli. Dari 12 benteng yang dibangun Belanda untuk melindungi Kepulauan Banda dari invasi musuh, 2 benteng diantaranya berada di Banda Neira. Di sana Gubernur Jenderal Belanda, JP Coen juga membangun komplek Istana Mini dan Societeit Harmonie (semacam club house tempat hang out nya para pejabat Belanda). Selain itu, ada juga bangunan bersejarah lain seperti Gereja Tua, kantor pos, penjara dan rumah pembuangan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir.
Pada tahun 1936, Belanda memindahkan lokasi pengasingan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir dari Boven Digul di Papua yang keras dan penuh nyamuk malaria, ke Banda Neira yang tenang dan indah. Maksudnya adalah untuk melembutkan hati kedua pejuang kemerdakaan itu agar mereka bisa bersikap lebih lunak dan kooperatif terhadap pemerintah Belanda. Selain itu, Banda Neira juga dianggap lokasi yang tepat untuk pengasingan karena pulau itu memang sulit dijangkau, bahkan sampai hari ini.
Awalnya Bung Hatta dan Bung Sjahrir tinggal di rumah yang sama, sebelum akhirnya Bung Sjahrir pindah ke rumah yang beliau sewa sendiri, tidak jauh dari rumah bung Hatta. Rumah pengasingan Bung Hatta terbagi menjadi 2 bagian. Di bagian depan digunakan sebagai tempat tinggal dan ruang kerja sang Proklamator. Sedangkan bangunan di bagian belakang rumah dimanfaatkan menjadi Sekolah Sore, tempat Bung Hatta dan Sjahrir mengajar anak-anak Banda. Tujuh pasang meja dan bangku yang tersusun rapi dan sebuah papan tulis mengisi ruang belajar sederhana itu.Bung Sjahrir mengajar anak2 kecil, dan Bung Hatta mengajar anak2 yang sudah lebih besar. Selama 6 tahun, anak2 Banda itulah yang menolong dan menguatkan Bung Hatta dan Syahrir melewati hari2 mereka di pengasingan dan menjauhkan mereka dari rasa kesepian yang menyakitkan. Untuk membunuh rasa bosan, Hatta dan Sjahrir biasa bermain gundu, sepak bola, mendaki gunung, memetik kembang anggrek, atau berenang di kedalaman laut Banda yang indah dan tenang.
Banyak kenangan manis dan berharga yang ditinggalkan Bung Hatta dan Sjahrir di Banda Neira. Keduanya begitu dihormati dan dicintai oleh penduduk Banda yang hingga saat ini masih terus menceritakan kisah2 tentang mereka secara turun temurun. Seperti kebiasaan Bung Hatta yang setiap hari dari Senin hingga Sabtu Bung akan berjalan kaki mengelilingi Pulau sambil menyusuri kebun pala. Waktu dan rutenya selalu sama. Dan karena beliau selalu tepat waktu, para pekerja di perkebunan pala menjadikan kedatangan beliau sebagai pengganti jam. Saat Bung Hatta muncul, mereka akan berseru: “Sudah jam lima! Saatnya berhenti bekerja”
Sekali waktu, Bung Hatta mencari kesibukan dengan mengecat perahu dengan warna merah dan putih, tanpa ada warna biru sedikitpun. Beliau ditegur oleh pejabat Belanda karena dianggap melakukan tindakan politis. Tetapi dengan santainya bung Hatta menjawab: “Tuan kan tau kalau laut sudah berwarna biru”
Bung Sjahrir punya cerita yang lain lagi. Beliau sering mengajak anak-anak Banda naik perahu ke Pulau Pisang, pulau kecil tak berpenghuni yang berjarak sekitar 30 menit dari Banda Neira. Di sana Beliau akan bermain-main dengan anak2 itu dan mengajari mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Untuk mengenangnya, nama Pulau Pisang pun diganti menjadi Pulau Sjahrir.
Kedua tokoh pejuang kemerdekaan itu menghabiskan waktu selama 6 tahun di sana, hingga pada tahun 1942 keduanya pulang ke Jakarta untuk menuntaskan agenda perjuangan mereka yaitu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Banda Neira memang istimewa.
Pantas saja bung Hatta dulu pernah bilang: “Jangan mati dulu sebelum sempat ke Banda Neira…”
Jakarta, 29 Mei 2020.
Saya barusan kepikiran, bagaimana kabar Banda Neira di masa pandemi Covid-19 ini ya?
Semoga Banda Neira baik2 saja…
Stay safe, Banda Neira,
You’ve been through so much.
You will make it this time!