Bahasa Banyumasan yang sering juga disebut sebagai bahasa ngapak terkenal dengan dialeknya yang khas, medhok, ceplas ceplos dan bebas. Intonasi dan aksen pada bahasa ngapak yang memberikan penekanan lebih pada beberapa konsonan membuat bahasa ngapak berkesan kasar dan kurang sopan, tidak seperti bahasa Jawa Yogya Solo yang terkenal halus dan penuh tata krama.
Karena Opa berasal dari Banyumas, dan keluarganya Bapak juga sampai saat ini masih tinggal di Cilacap, bahasa Banyumasan bukan sesuatu yang asing buat saya. Kadang kami juga menggunakan bahasa ini saat berkelakar di rumah. Entah kenapa bahasa ini memang selalu berhasil membawa suasana yang segar, menyenangkan dan mengundang tawa.
Hari ini saya belajar satu istilah bahasa ngapak yang mungkin terdengar lucu di telinga: “embret”. Embret yang dalam kamus bahasa Banyumasan berarti “bekerja” atau “mencari nafkah ini” ternyata punya sejarah etimologi yang sangat menarik.

Cerita ini saya dapat dari Bapak, yang puluhan tahun lalu pertama kali denger cerita ini dari Pak Guru di Sekolahnya di Cilacap. Dan sepasang roti keju sarapannya Kakak kemarin ternyata berhasil mengingatkan beliau sama cerita ini.
Pada masa kolonial Belanda, para pekerja kasar di daerah pesisir selatan Jawa biasa mendapat upah kerja berupa sepotong roti dari mandornya. Hanya mereka yang sudah bekerja saja yg boleh minta haknya untuk makan. Siapa yang sudah selesai mengerjakan tugasnya akan berdiri dengan mengacungkan tangan sambil berteriak: “Ik, brood!” , yang artinya: “Saya, roti!” .
Sepotong kalimat pendek ini berfungsi sebagai laporan sekaligus permintaan. Lapor bahwa pekerjaan sudah selesai, dan minta dikasih sepotong roti sebagi upahnya.
Lama kelamaan “Ik, brood” berubah jadi “I’m bread”, dan berakhir menjadi “embret”.

Sampai hari ini, orang Cilacap dan Banyumas kalau mau pergi kerja masih suka bilang: “Inyong arep embret disit, yak!”.
“Saya mau berangkat kerja dulu yaaa…”