Keinginan saya traveling ke Tibet pertama kali muncul tahun 1997, saat novel otobiografi yang ditulis oleh pendaki gunung asal Austria, Heinrich Harrer, diangkat ke layar lebar. Saat menyaksikan film Seven Years in Tibet itu saya langsung jatuh hati pada kota Lhasa dan mulai berharap suatu hari saya bisa menginjakan kaki saya di kota itu.

Mimpi yang sempat sedikit terlupakan ini mulai menguat lagi 3 tahun yang lalu. Saya bersama beberapa teman mulai bikin plan untuk traveling ke Tibet, sayangnya rencana tahun 2017 itu ga pernah terlaksana.
Dan akhirnya tahun lalu saya dan suami memutuskan, we’re going to Tibet!
Tibet adalah sebuah wilayah dataran tinggi di Asia Timur yang luasnya mencapai 2,5 juta Km2 (Luas Tibet sendiri 1,2 Km2). Di bagian selatan terdapat sungai Brahmaputra yang mengalir di kaki pegunungan Himalaya dan Dataran Gangga yang luas. Dengan ketinggian rata-rata 4.500 mdpl, Tibet menjadi dataran tinggi terbesar yang letaknya tertinggi di dunia, itulah alasan mengapa Tibet dijuluki sebagai “atap dunia”, the rooftop of the earth.

Dahulu Tibet adalah sebuah kerajaan merdeka yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut Dalai Lama, yang memegang peranan sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Sejak lama Kerajaan Tibet sering mengalami benturan politik dengan dinasti2 Cina. Pada tahun 1950 tentara merah Cina menyerbu Tibet, dan pada 1951 Cina berhasil merebut Ibu Kota Tibet, Lhasa, dan menjatuhkan kekuasaan Dalai Lama.

Sebelum bulan September 1984, Tibet tertutup untuk dunia luar. Tapi buat saya, bahkan saat Tibet sudah membuka dirinya pun, ia masih seperti sebuah negeri yang diselebungi misteri. Banyak tradisi, budaya dan filosofi Buddhism yang bikin saya tercengang dan tercenung. Perjalanan singkat saya ke Tibet adalah seperti perjalanan menelusuri lorong waktu untuk menemukan gulungan2 kitab yang mengajarkan kita tentang kehidupan. Perjalanan singkat yang menghadiahi saya pengalaman bathin yang gemanya akan saya rasakan sepanjang sisa hidup saya.
Untuk bisa menginjakan kaki di Tibet, selain perlu mengantongi Visa Cina, kita juga harus punya Tibet Permit. Aturan perijinan masuk ke Tibet ini seringkali berubah2 dari waktu ke waktu. The best thing to do would be, cari tau dulu aturan apa yang berlaku saat kita memutuskan pergi ke Tibet dan cari referensi dari traveler yang sudah pernah ke sana. Per Oktober 2019, beberapa aturan yang berlaku adalah seperti di bawah ini:
- Kita hanya bisa masuk ke Tibet melalui Cina Daratan atau Nepal. Hingga saat ini tidak ada international direct flight dari negara manapun ke Tibet, kecuali dari Nepal yang lokasinya bersebelahan dengan Tibet. Dari Cina Daratan kita bisa ambil penerbangan langsung dari Beijing, Xi’an, Chongqing, Chengdu, and Kunming. Pilihan lainnya adalah naik kereta cepat dari Beijing, Shanghai, Guangzhou, Xi’an, Chengdu, Chongqing, Lanzhou, and Xining. Waktu tempuh dengan kereta dari Beijing ke Lhasa adalah 40 jam, Shanghai-Lhasa 47 jam, dan Guangzhou-Lhasa 53 jam. Sebetulnya ada juga penerbangan langsung dari Hongkong ke Lhasa, tapi hanya buat China Citizen. Oktober tahun lalu saya mengambil rute Jakarta-Chendgu-Lhasa, dan sebaliknya.
- Kita ga bisa masuk ke Tibet sendiri, harus bersama group (minimal 2 orang) dan harus didampingi Tour Guide dari salah satu Travel Agent yang ada di Cina. Kalau kita berencana untuk pergi sendiri, maka Travel Agent akan mengatur supaya kita bergabung dengan group tour yang ada. Kita hanya boleh jalan2 sendiri untuk berkeliling kota Lhasa dan masuk ke restoran, toko atau mall. Selebihnya, kita harus selalu didampingi sama Tour Guide. Never expect to visit a monastery without a tour guide.
- Kita perlu Tibet Permit untuk bisa masuk ke Tibet. Pengurusannya juga harus melalui Travel Agent resmi Cina, kita ga bisa mengajukan permohonan Tibet Permit sendiri. Dokumen Tibet Permit ini akan bolak balik dicek saat kita mau boarding di Cina, dan di banyak Security Check Points yang tersebar di seantero Tibet. Ga seperti perjalanan pada umumnya, saat melintasi wilayah pegunungan Himalaya, tiap 30 menit ada pemeriksaan oleh tentara Cina.
- Jika kita masuk ke Tibet dari Nepal, kita harus mengajukan permohonan untuk bikin Group Tour Visa ke Chinese Embassy di Kathmandu, Nepal.
- Jurnalis dan Diplomat tidak diijinkan masuk Tibet melalui jalur Travel Agent. Mereka harus mendapat ijin khusus dari China Foreign Affairs Office.
- Ga semua tempat di Tibet bisa dikunjungi oleh orang asing. Tibet Entry Permit hanya bisa digunakan untuk mengunjungi Lhasa, Shigatse dan Lake Namtso. Untuk mengunjungi Everest Base Camp kita perlu Aliens’ Travel Permit. Dan kalau mau mendaki gunung Everest kita perlu ngurus permit yang lain lagi. Uniknya, semua dokumen permit ini akan dipegang sama Tour Guide kita, dan setelah perjalanan selesai dokumen akan dikembalikan ke Pemerintah Cina. Kita ga boleh minta bahkan kopinya sekalipun.
- Kita ga bisa mengunjungi Tibet selama masa Tibetan New Year (biasanya antara bulan Februari-Maret). Tibet baru akan dibuka lagi untuk pengunjung pada awal April.
Saat ini ga ada pembatasan usia untuk kita yang mau mengunjungi Tibet. Tapi mengajak anak di bawah umur dan lansia memang ga disarankan. Beberapa fasilitas umum di banyak remote area kondisinya sangat tidak layak bahkan agak mengerikan (khususnya toilet; saran saya bawa tissue basah yang banyaaakkk!) Dan mereka yang menderita penyakit jantung dan tekanan darah tinggi perlu berpikir ulang sebelum memutuskan pergi ke Tibet. Karena Tibet High Altitude bisa beresiko sangat tinggi bagi kesehatan mereka.

Begitu saya menginjakan kaki di Lhasa, saya langsung ngerasa ada yang berbeda. Tipisnya oksigen di Lhasa membuat nafas saya terasa agak berat dan kepala sedikit pening. Gejala ringan AMS (Altitude Mountain Sickness) ini memang biasa dialami banyak orang. Maklum, saya biasa tinggal di Jakarta yang altitude nya hanya 7,9 mdpl, sementara Lhasa berada di ketinggian 3.656 mdpl. Wajar saja kalau badan saya agak shock. Berjalan lambat, banyak minum, tidak terlalu excited, makan secukupnya saja, istirahat dan tidak mandi selama 1-2 hari pertama adalah beberapa cara buat mengatasi gejala AMS ini. Kalau terpaksa, kita bisa menggunakan bantuan tabung oksigen portable yang banyak dijual di supermarket di Lhasa. Beberapa hotel berbintang juga menyediakan kamar2 dengan fasilitas supply oksigen di dalamnya.

Teman baru kami, Norbu yang menjemput kami di bandara mengalungkan sehelai selendang berwarna putih sebagai simbol ucapan selamat datang. Ketika memasuki mobil yang menjemput kami di airport, saya langsung dibuat terkesima. Bagian dashboard van yang kami tumpangi itu dipenuhi dengan ornamen, gambar, simbol2 Buddhism, praying beeds dan 2 buah kamera pengawas. Dengan isyarat sederhana Norbu berpesan supaya kami menjaga sikap dan ucapan selama berada di mobil. Saya menganggukan kepala tanda mengerti.
Playlist di mobil memperdengarkan suara orang bermeditasi dan membaca mantera di sepanjang perjalanan, dan pak supir juga nyaris tak henti2 menggumamkan mantera2 sambil menyetir. Hanya sesekali beliau berhenti saat bercakap2 dengan kami atau Norbu.

LHASA
Selama berabad-abad lamanya, sebuah kerajaan Buddha terperangkap di tengah deretan pegunungan tertinggi di dunia, Himalaya. Para penjelajah menyebutnya sebagai ”negeri terlarang”. Lhasa, yang menjadi ibu kota kerajaan dikenal sebagai kota suci, tempat tinggal para Dewa. Di kota inilah pada abad ke-7, raja Tibet yang pertama Songtsen Gampo membangun Kuil Jokhang sebagai tempat bersemayamnya 2 patung Buddha yang paling suci. Hingga hari ini, masyarakat Tibet menganggap Jokhang Temple sebagai kuil paling suci di Tibet.

Setiap pagi, orang berbondong2 datang ke Jokhang untuk berdoa dan membawa persembahan. Banyak diantara mereka yang datang dari kota2 yang jauh. Dulu, ketika kondisi jalan belum sebagus sekarang, orang2 dari pegunungan ada yang harus berjalan berbulan-bulan lamanya untuk bisa sampai ke Lhasa. Beratnya medan yang harus ditempuh sama sekali ga menyurutkan semangat dan kerinduan para peziarah itu. Tanpa peduli dengan peluh yang menetes dan debu yang menempel, sambil melakukan prostration mereka terus berjalan, menangkupkan telapak tangan untuk menyembah dan bersujud, berulang kali, lagi dan lagi.

Saya melihat ada ketaatan dan cinta yang besar di wajah perempuan2 Tibet yang mengenakan baju2 panjang dengan kain penutup berbentuk seperti apron dengan warna2 terang. Berjalan pelan2 dan khusuk mengelilingi kuil dengan arah bertentangan jarum jam, sambil memutar2 prayer wheel, melafalkan mantera2 dan doa. Saya pernah membaca tulisan seorang traveler yang mengunjungi Tibet di tahun 80an, para lelaki Tibet akan berjalan mengelilingi Jokhang Temple sambil membaca mantera dan dengan setengah berbisik menyebut nama “Dalai Lama, Dalai Lama…”. Mereka akan mendekati orang2 asing yang ditemui, berharap ada diantara mereka yang datang dengan membawa sepotong gambar Dalai Lama yang berada di pengasingan, sementara polisi dan tentara yang menyamar terus berjaga di sekeliling alun2.
Kuil suci Jokhang dikelilingi sebuah one-way circled praying road bernama Barkhor Street. Para peziarah berjalan menyusuri Barkhor dengan arah berlawanan jarum jam sambil melakukan ritual doa dan prostration. Saya sempat menyaksikan seorang Ibu yang mengajari putri kecilnya melakukan prostration di tengah keramaian Dengan taat sang anak melakukannya meski berulang kali harus mengelap keringat yang bercucuran dan memperbaiki alas telapak tangannya. Pelajaran tentang iman dan ketaatan ini memang hanya bisa diturunkan dari Ibu kepada anaknya, Tibetan Buddhism memang tidak diajarkan di sekolah. Jika tertarik untuk melihat seperti apa sistem pendidikan di Tibet saat ini, mungkin bacaan yg satu ini bisa memberi sedikit pencerahan.
Selain dipadati dengan orang2 yang melakukan ritual doa dan prostration, Barkhor Street juga dipenuhi dengan deretan toko yang menjual berbagai barang khas Tibet. Sejenak jalan ini mengikatkan saya pada Via Dolorosa di Yerusalem.


Sejarah penting Tibet lainnya tersimpan di sebuah bangunan istana megah, Potala Palace. Selama lebih dari 3 abad Potala Palace menjadi tempat tinggal dan pusat pemerintahan Dalai Lama. Istana yang dibangun oleh Dalai Lama ke-5 pada tahun 1645 in iterdiri dari 13 lantai, memiliki lebih dari 1000 kamar, 10.000 kuil dan menyimpan lebih dari 200.000 patung dewa dan orang2 suci. Dulu, jumlah bhiksu yang tinggal di sana bisa mencapai 1000 orang, para bhiksu itu datang dari seluruh penjuru dunia untuk belajar tentang Buddhism. Saat ini tinggal sekitar 80 orang bhiksu saja yang tinggal di sana, mereka bertugas membersihkan, menjaga seluruh pusaka dan mengelola persembahan2 yang masuk.


Di pagi hari para bhiksu akan berkumpul memenuhi ruangan berbentuk seperti aula, dengan pilar2 besar dan meja panjang yang ditutup karpet2 warna merah. Mereka belajar dan menelaah ribuan transkrip kitab berusia ratusan tahun. Dan di sore hari biasanya mereka berkumpul di pelataran kuil untuk berdiskusi dan berdebat tentang pelajaran2 yang mereka dapat di pagi harinya. Acara debat ini bisa berlangsung sangat seru disertai dengan teriakan, tepukan tangan dan hentakan kaki yang kuat. Sekarang jumlah bhiksu yang yang tinggal di kuil2 terus menurun dari waktu ke waktu, monks debate ini masih terus berlagsung, hanya tidak lagi “semeriah” dulu.



Di Lhasa, saya sempat makan siang di sebuah restoran yang menyajikan berbagai makanan khas Tibet. Kami mencicipi tsampa, daging yak dan butter tea. Tibetan tsampa ini adalah makan pokok orang Tibet dan Himalaya yang terbuat dari jelai atau barley. Mereka mengkonsumi tsampa untuk sarapan, makan siang, malam bahkan untuk camilan. Biasanya tsampa dicampur dengan teh panas dan mentega yang dibuat dari susu yak, sehingga rasanya menjadi gurih dan sedikit asin.



Saya beruntung karena di kunjungan saya yang singkat di Lhasa saya sempat bertemu dengan keluarga Norbu di kediaman mereka. Kami disambut dengan sangat hangat oleh Nenek dan Bibinya. Sekeranjang kecil daging yak kering, phulka roti dan cangkir2 berisi butter milk sudah disiapkan di ruang tamu yang hampir semua sudutnya dipenuhi dengan simbol2 buddhism dan kitab2 doa serta mantera.

LHASA-SHIGATSE, 280 Km.
Dari Lhasa perjalanan kami lanjutkan menuju Shigatse, kota kedua terbesar di Tibet yang berada 280 km sebelah barat Lhasa. Perjalanan menanjak dari Lhasa ke Shigatse makan waktu sekitar 6 jam. Dalam bahasa Tibet, Shigatse berarti “the fertile land” atau “tanah yang subur”. Panorama sepanjang perjalanan dari Lhasa sampai ke Shigatse benar2 memukau. Langit yang biru, pegunungan yang mulai menguning saat memasuki musim gugur, dan sungai Brahmaputra yang nampak magis dari kejauhan.

YAMDROK LAKE. (4441 mdpl)
Satu dari 4 danau paling suci di Tibet. Mulai dari Dalai Lama hingga penduduk sekitar biasa melakukan ziarah ke danau ini.

NAMTSO LAKE. Dalam bahasa Tibet berarti “heavenly lake” atau “danau surgawi”. Danau air asin tertinggi di dunia ini digambarkan sebagai danau yang letaknya di sebelah surga, karena letaknya yang sangat tinggi, airnya yang biru jernih, serta keindahan pegunungan sekelilingnya yang indah dan mempesona. Di sekitar danau ini juga kita bisa bertemu dengan kawanan yak dan para pengembara (orang Tibet yang masih hidup secara nomaden).

KAROLA GLACIER. (Ketinggia 5.020 mdpl)
Sesaat setelah turun dari mobil, beberapa perempuan penjual keju khas Tibet menghampiri. Keju merupakan salah satu makanan pokok yang banyak dikonsumi masyarakat Tibet. Ada 2 jenis keju, yaitu keju lunak yang terbuat dari buttermilk (chura loenpa) dan keju keras yang terbuat dari yoghurt yang dipadatkan (chhurpi), semuanya diolah dari susu yak.
Kami tiba di Shigatse menjelang sore. Di ketinggian 3800 mdpl oksigen semakin tipis dan nafas mulai terasa makin berat. Kami makan secukupnya dan memilih untuk segera beristirahat.
Di kota tua Shigatse yang sudah berumur 600 tahun ini kami mengunjungi Tashilhunpo Monastery yang dibangun oleh Dalai Lama ke-1 di abad ke-14.


Hari masih pagi saat kami tiba di Monastery. Saya memperhatikan mereka yang datang berbondong2 dengan membawa bermacam sesaji untuk dipersembahkan di kuil, hasil bumi terbaik, rempah2 terbaik seperti saffron, butter tea dan juga uang. Mereka selalu membawa yang terbaik, hanya yang terbaik, dan di waktu yang terbaik. Saya tetiba teringat dengan amplop2 persembahan yang biasa saya bawa ke Gereja, dan diam2 saya tertunduk karena malu.



Sambil berjalan mengelilingi monastery, saya sempat bercakap2 dengan Norbu.

“Do you have a dream, Norbu?”
“What dream?”
“Any dream… Having a big house, driving a nice car, go places…”
Norbu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“My only dream is to be happy, and I wish for the world to be a happy and peaceful place”
“Are you for real?”
Saya menggelengkan kepala saya berkali-kali, sampai leher saya terasa sakit.
Siang itu kami melanjutkan perjalanan dari Shigatse menuju Tingri, sebuah kota kecil yang dulu pernah menjadi pos perdagangan penting antara Nepal dan Tibet. Orang Nepal membawa komoditi beras, gandum dan besi untuk ditukar dengan wol, ternak dan garam Tibet.
SHIGATSE-TINGRI, 250 Km.

Perjalanan dari Shigatse menuju Tingri mungkin adalah perjalanan paling brutal yang pernah saya alami. Meski kondisi jalannya sudah sangat mulus, tapi jalan Xinjiang yang panjang dan berliku dengan lebih dari 600 tikungan tajam bikin 4,5 jam perjalanan menuju Tingri jadi terasa sangat panjang. Kami ga hanya harus berjuang dengan AMS yang mulai memburuk di ketinggian 4500 mdpl, tapi juga harus bisa nahan pusing dan mual karena jalanan yang berkelok tajam bikin isi perut seperti dikocok2.
Buat gambaran yang lebih jelas, video CGTN ini pasti akan sangat membantu.
Kabar baiknya adalah, pemandangan pegunungan Himalaya yang magical menjadi suguhan tak ternilai harganya. Barisan pegunungan yang puncaknya tertutup salju, dan ribuan bendera doa warna warni yang berkibar2 di tiup angin adalah pemandangan yang sudah tersimpan dalam khayalan saya bertahun2 lamanya.

Sejak lama saya mengagumi bendera warna warni yang berkibar2 semarak di langit Tibet yang biru itu, bahkan jauh sebelum saya menginjakan kaki di sana. Belakangan saya baru tau, kalau ternyata bendera2 itu bukan sekedar dekorasi, tapi adalah prayer flags. Di tiap lembaram kain berbentuk persegi dalam lima warna yang digantung di puncak2 bukit di sepanjang pegunungan Himalaya itu tertulis doa dan mantera2. Masyarakat Tibet percaya, bahwa mantera2 perdamaian, kasih sayang, kekuatan, dan kebijaksanaan yang tertulis di prayer flags akan ditiup angin dan menyebar ke seluruh penjuru bumi.

Ketika saya bertanya: “Don’t you ever pray for yourself?”
Jawabannya: “It is very selfish to pray for yourself. But if you wish for the world to be happy, that should be enough”.
Pemberhentian terakhir kami sebelum sampai di Mt. Everest Base Camp adalah di Rongbuk Monastery Guest House yang terletak di kaki gunung Everest. Berada di ketinggian 5.100 mdpl, Rongbuk Monastery yang merupakan biara tertinggi di dunia ini dikelilingi oleh pemandangan yang sangat cantik. Sayang sore hingga malam hari itu kami lagi2 harus berjuang dengan AMS dan terpaksa beristirahat di kamar, padahal ingin sekali berjalan2 lihat pemandangan di sekitar monastery.

Kamis, 3 Oktober 2019, akhirnya mimpi saya untuk melihat puncak gunung tertinggi di Himalaya, tercapai.
Ternyata, puncak Mt. Everest memang seindah yang saya bayangkan. Bahkah lebih!
Kali ini saya sudah sangat bersyukur bisa sampai di kaki gunungnya. Lalu kapan mau naik sampai ke puncaknya?
Mungkin nanti, kalau saya sudah muda.
We never know…
Gunung Everest merupakan bagian dari Pegunungan Himalaya dan puncaknya berada di ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut merupakan perbatasan antara Tibet dan Nepal. Orang Tibet menyebut Gunung Everest dengan nama Chomolungma yang artinya ibu suci, sedangkan orang Nepal menyebutnya Sagarmatha yang berarti dewi langit.


Hari itu adalah untuk pertama kalinya saya berdiri begitu dekat dengan langit. 5.400 meter di atas permukaan laut. Masih jauh dari puncak, tapi saya sudah dibuat hampir menangis karena merinding, terharu sekaligus kegirangan. Berdiri di depan Everest bikin saya merasa sangat kecil, ga ada artinya dibanding semesta yang megah. Dada terasa sesak dan sulit bernapas, bukan hanya karena oksigen yang semakin tipis saja, tapi juga karena dipenuhi kebahagiaan dan rasa syukur yang meluap2. Tanpa saya sadar, mata saya basah saat kaki harus melangkah menjauhi base camp. Mengucapkan salam perpisahan pada Everest, dan memulai perjalanan kembali ke ketinggian manusia normal.

Buat saya, setiap perjalanan adalah istimewa. Masing2 dengan kenangan dan pelajarannya sendiri2. Perjalanan kami ke Tibet kemarin meninggalkan banyak perenungan buat saya.
Tentang hidup,
Tentang mengucap syukur,
Tentang kesederhanaan, compassion dan kebahagiaan.
And if GOD give me a chance to come back again, I will…